Sabtu, 27 Desember 2008

DINAMIKA POLITIK LOKAL

DINAMIKA POLITIK LOKAL

Pagi Rabu tanggal 3 Mei 2006 , seperti biasanya kami bolak balik beberapa surat kabar harian, mencari dan membaca beberapa berita yang dapat memberikan kami tambahan informasi ilmu guna menambah ke minimalisasian hasanah pengetahuan kami. Ketika kami buka harian NTB. Post, surat kabar terbitan Mataram, pada halaman 5 kami dapatkan sebuah judul tulisan “ Di Balik Mutasi Pejabat, Ada Korban Politik Yang Terlupakan” Dalam tulisan tersebut dikemukakan kasus saudara kami HL.Jazuli Azhar, SH.M.Si. yang dulu namanya terkenal karena prestasi dan kepintarannya, kini setelah Beliau gagal dalam kontes Pilkada Bupati Lombok Tengah Tahun 2005 ini, nama dan kiprahnya di dunia Birokrasi seakan redup ditelan bumi, hanya karena persoalan politik praktis.
Apa yang ditulis dalam Koran tersebut, tidaklah berlebihan, seperti diungkapkan bahwa, di usia yang tergolong masih muda, sekitar 45 tahun, ia adalah sosok pemikir yang cerdas dan inovatif serta energik, punya segudang pengalaman di Birokrasi Pemerintahan, pernah menjabat Camat dan Kabag Tata Pemerintahan, serta punya kepedulian yang amat besar terhadap tanah kelahirannya Lombok Tengah. Hal ini dibuktikan dengan ungkapannya “ Kalau saya masih dibutuhkan oleh Pak Bupati saya tetap bertahan, tetapi kalau tidak, nanti akan saya pikirkan tawaran teman-teman yang mengajak saya ke Provinsi” ungkapnya.
Ketika kami membaca berita tersebut, spontanitas, saya teringat tulisan saudara Evendhy M.Siregar, dalam bukunya, Bagaimanan Menjadi Pemimpin Yang Berhasil” Dalam salah satu Bab buku tersebut ia, mensitir ungkapan seorang politikus amatiran yang mengatakan “ Bung harus belajar menyesuaikan diri. Kita harus luwes bergaul, supaya hidup kita selamat dan karier bisa menanjak. Tidak salah sedikit-sedikit munafik. Supaya jangan lain dari yang lain. Nanti orang akan muak melihat kita, karena dikira sok suci. Toh banyak sekarang orang sudah munafik, malahan ada yang munafiknya sudah segudang. Munafik kecil-kecilan, kan tidak apa-apa?”
Apa yang dikatakan politikus amatiran itu barangkali ada benarnya dizaman sekarang ini, karena dimana-mana, ketika gendang Pilkada telah usai ditabuh para abituren yang merasa ikut menjadi tim sukses Kepala Daerah terpilih, bukannya program kerja riel yang menyentuh hajat hidup orang banyak yang di desak kepada Kepala Daerah, tapi nyata dan pasti masalah penempatan pejabat lah yang menjadi prioritas kerja 100 hari sang Kepala Daerah. Penempatan Pejabat atau krennya reformasi Birokrasi amatlah penting, karena bagaimanapun seorang Pemimpin harauslah didampingi oleh orang-orang yang sejalan dengannya. Sejalan dalam arti positif, bukan sejalan untuk bisa seenaknya menerapkan praktik-praktik KKN. yang telah menjadi momok mengerikan bagi masyarakat, tapi penempatan pejabat hendaklah benar-benar didasarkan atas bakat kemampuan dan keahlian pejabat yang bersangkutan dalam bidang dimana ia ditempatkan, bukan didasarkan atas dasar suka tidak suka terhadap seseorang. Jika seorang pemimpin menempatkan seseorang hanya didasarkan atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja, maka bagi yang kurang kuat pendiriannya, mulai dengan gerakan kasak kusuk, lobi sana lobi sini mencari jalan, bagaimana agar ia mendapatkan perhatian sang penentu kebijakan. Dalam tulisan selanjutnya Evendhy M.Siregar mengatakan : bagi yang kurang kuat pendiriannya, mulai melakukan pekerjaan munafik. Maikin lama, makin banyak munafiknya, karena sudah terbiasa. Malahan berbuat munafik sudah dianggap biasa atau sesuatu yang seharusnya dilakukan. Karena sudah terbiasa, seperti tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dan setelah terbiasa melakukan pekerjaan munafik, begitu memegang kunci penentu (decesion maker/determinator), sudah terlatih. Nalurinya sudah peka bagaimana mengibuli brakyat (anggota). Inderanya begitu tajam mana yang bisa dimunafikkan. Kemunafikan itu bukan saja dimana ia memimpin, tapi diorganisasi lainpun ia berbuat munafik. Apabila yang diuraikan di atas dapat diterima, kita tidak perlu heran jika ada kader, tidak berani menyatakan pendapatnya, berpegang teguh lebih baik diam, pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh adalah yang terbaik dari yang baik. Kader seperti itu bukan saja secara sadar atau tidak, telah menjadi seorang munafik, tetapi juga telah mendidik dirinya sendiri menerima apa adanya atau menyesuaikan diri saja terhadap situasi dan kondisi yang sedang terjadi sehingga keterbukaan dan pembaharuan akan “status quo” akan berjalan ditempat yang pada gilirannnya tidak akan dapat melahirkan kader yang berbobot.
Apa yang dikemukakan Evendhy M.Siregar diatas dapat dibenarkan, karena dizaman reformasi yang kebablasan ini, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang takut kehilangan status social (jabatan)nya, jarang kita jumpai orang seperti Rudini (Mantan Mendagri pada Era Kepemimpinan Soeharto), karena terbukti ketika ia masih menjabat Mendagri, seringkali ia menyatakan dengan nada keras bahwa dewasa ini banyak orang yang bermuka tebal, berkulit badak, ndableg dan tak tahu malu. Mereka hanya menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga saja. Kan lebih baik bikin proyek yang bermanfaat untuk rakyat kecil seperti PIR. “itulah sebabnya mengapa saya selalu berbicara dengan nada keras” sebab banyak orang sekarang yang sulit diajak bicara secara halus, walaupun sebenarnya bangsa kita orang halus dan lemah lembut. Rudini menambahkan bahwa ia tidak takut kehilangan jabatan karena ucapan yang keras. Kalau pak Harto bilang “tidak usah” ya sudah. Saya mundur saja, ucapnya. Adakah orang seperti Rudini, saat ini ? Wallahua’lam.
Sekarang ini, banyak kita jumpai orang, khususnya di Birokrasi pemerintahan, orang, lebih-lebih pejabat yang takut kehilangan status social atau copot dari jabatannya, tidak berani mengeluarkan pendapat, memberikan saran dan masukan kepada Pimpinan apalagi dalam bentuk kritik, mau tak mau sementara organisasi kurang melahirkan kader yang kreatif dan dinamis. Jika sikap diam dan pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh berkembang, sadar atau tidak telah mengajar kader untuk gandrung mengalah dan mengorbankan hati nuraninya, dengan harapan akan memperoleh jabatan (kedudukan) atau kehidupan yang lebih baik sehingga kader itu akan malas dan labil berfikir. Jika malas dan labil berfikir ini timbul, maka keinginan untuk membuat prestasi akan goyah dan rapuh. Yang lebih buruk, para kader akan mempunyai kecendrungan akan menipu dirinya sendiri sehingga tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Kader demikiian, dikhawatirkan tiap hari akan terus bertambah banyak sedangkan kader yang berani bertanya, berani memberikan saran masukan pada pimpinan dengan prinsip kebenaran, jujur pada dirinya sendiri, dan tetap memegang prinsip mempunyai resiko, tidak akan dapat jabatan dan kedudukan, jumlahnya akan semakin mengecil.
Kasus yang dialami oleh saudara HL.Jazuli Azhar,SH.M.Si. bukanlah satu-satunya kasus di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini, tapi hampir merata di semua Kabupaten/ Kota fenomena seperti itu terjadi. Di Kota Mataram juga, mantan Calon Walikota sampai sekarang belum ada titik terang keberadaannya di Birokrasi, Di Kabupaten Lombok Barat, gara-gara mendukung salah satu pasangan Bupati/Wakil Bupati yang kalah dalam percaturan Pilkada tahun 2003 lalu, sampai sekarang juga masih non job, atau istilah kerennya jadi staf ahli (staf khusus). Dimana mana hampir disetiap Kabupaten Kota di Nusa Tenggara Barat ini, sekarang terdapat yang namanya staf ahlli yang terkadang menjadi staf ahli yang bukan keahliannya. Bukan itun saja, terkadang karena tidak sejalan dengan sang Pemimpin (Kepala Daerah), pejabat yang bersangkutan lalu di staf ahlikan. Karena itu disetiap kali ada mutasi di suatu daerah, para pejabat kadang malam harinya ketika akan dilakukan pelantikan, tidak bias tidur semalaman memikirkan dirinya, jangan-jangan dirinya kena penyakit staf ahli. Fenomena seperti inilah yang membuat sebagian pejabat melakukan segala upaya, sebagaimana yang diungkap oleh Evendhy M.Siregar diatas yang mengkatagorikan sebagai perbuatan/tindakan munafik.
Adakah timbulnya gejala/fenomena seperti di atas merupakan imbas dari penerapan Otonomi Daerah, yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri ? Setuju atau tidak, dalam kenyataannya dengan deberlakukannya otonomi Daerah sejak tahun 1999 lalu, membawa dampak positif terhadap kondisi sosio politik diberbagai daerah termasuk di Nusa Tenggara Barat. Penerapan Otonomi Daerah, menunjukkan adanya proses integrasi antara kondisi local dan sistem hukum otonomi daerah yang baru sehingga melahirkan sebuah gambaran yang unik mengenai otonomi daerah.
Untuk Daerah Nusa Tenggara Barat, sistem pemerintahan memperlihatkan berkembangnya sistem pemerintahan yang sentralistik dengan tradisi local dan hubungan patron-klien yang masih terus berlangsung diantara birokrat. Hal ini membuat rendahnya kepedulian pemerintah daerah itu untuk melakukan otonomi daerah (M.Mas’ud Said, 2005). Gambaran mengenai hal ini, lebih jauh diungkapkan oleh M. Mas’ud Said “Praktek-praktek sehari-hari memberikan gambaran mengenai seberapa jauh teknik-teknik sentralistik dan hirarkis yang lama masih terjadi dalam pemerintahan Provinsi. Dalam proses pengambilan kebijakan sehari-hari, kebanyakan pejabat seniorlah yang menentukan banyak hal. Semakin senior seorang birokrat, semakin dia yang menentukan keputusan. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa prosedur-prosedur administrasi dan pemerintahan didominasi oleh elit-elit local” Pengejawantahan keadaan diatas ini, adalah merupakan ekspelimentasi dari teoritik yang mengatakan “: Ekspresi permasalahan local sangat beragam. Masing-masing Daerah dituntut untuk mengelola dinamikanya sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat” ( PLOD UGM & Dep.Dalam Negeri.RI,2004). Dengan keadaan situasi dan kondisi yang beragam inilah, maka dibutuhkan kecakapan dan kecerdasan tersendiri dalam mengelolanya agar menjadi produktif dan dinamis. Banyak hal yang perlu dipecahkan di dalam mendorong pelaksanaan otonomi daerah, terutama yang berkaiatan dengaan mesin-mesin birokrasi pemerintahan agar dapat bekerja sebagaimana mestinya, yakni menjadi pelayan masyarakat, dan juga timbulnya kesadaran baru dikalangan masyarakat sendiri dalam menjalin relasi atau berhadapan dengan birokrasi atau aparat pemerintahan.
Lokalitas memiliki ruang, identitas dan perwatakan yang khas karena itu memiliki dinamika tersendiri yang tidak dapat dicampur adukkan dan digeneralisir sedemikian rupa, sekalipun dibalik kekhasan dinamis yang dimilikinya terkadang menyimpan pula persamaan pola, kepentingan dan sejenisnya (Geert;2003). Dari kekhasan dan perwatakan local yang dinamis tersebut, problem lokalitas dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan local yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat di dalamnya. Disinilah mengapa aspek lokalitas menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan dinamika politik local.
Sebagai eksponen penyelenggaraan pemerintahan daerah, para pejabat daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengelola dinamika politik secara pro aktif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pengelolaan dinamika politik ini seyogyanya mengacu pada bekerjanya institusi-institusi local. Kaitannya dengan hal ini, pejabat pemerintah yang bermaksud untuk ambil bagian dalam mengelola dinamika masyarakat dituntut untuk faham terhadap pasang surutnya dinamika tersebut. Beberapa kejadian dan kenyataan riel yang terjadi di beberapa daerah, seperti Kasus Bupati Kampar (Jefri Noer) yang membuat pernyataan yang melecehkan seorang guru didalam suatu forum, ternyata menjadi pemicu kemarahan massa. Kemarahan para guru diungkap melalui demonstrasi secara besar-besaran yang pada gilirannya memacetkan aktifitas layanan public. Kemarahan ini pada akhirnya menyeret kejatuhan sang Bupati dari kursi kekuasaannya. Di Lombok Timur juga pernah terjadi demonstrasi para guru ke Bupati Lombok Timur yang meminta transparansi pengelolaan zakat yang dipotong melalui gaji para PNS, tapi alhamdulillah demo tersebut tidak sampai melengserkan Bupati H.Ali Bin Dahlan, Di Kota Bima juga terjadi perang uart saraf antara Walikota dengan Mantan Kapala BPKD HM.Djalil, karena Kepala BPKD di lengserkan dari jabatannya dan kena imbas penyakit Staf ahli, di Kabupaten Lombok Tengah juga sedang terjadi ketidak harmonisan Ekskutif dan Legislatif gara-gara ditariknya ( di staf ahlikan ) Mantan Sekwan. Drs Rumawan, akibatnya aktifitas di Sekretariat Dewan tidak berjalan normal. Harapan kita semua mudah-mudahan hal ini bisa diselesaikan dengan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat banyak. Kasus yang paling anyar adalah adanya demo besar-besaran sekitar 5000 warga Banyuangi termasuk tokoh agama (alim ulama ) dan tokoh masyarakat dengana amenggunakan sekitar 138 kendaraan beroda empat yang mendesak agar Bupati Banyuangi Ratna Ani Lestari mundur dari jabatannya selaku Bupati Banyuangi 2005-2010, gara-gara Bupati mengeluarkan kebijakan yang meng SK kan harga daging babi dalam standard harga barang dan jasa kebutuhan pemerintah Kabupaten, adanya pernyataan Bupati mengenai larangan istighotsah, SK pencopotan beberapa Kepala Sekolah dan beberapa kebijakan lainnya yang tidak diterima masyarakat. Masyarakat mendesak DPRD untuk melakukan siding paripurna membahas persoalan tersebut, dan tuntutan itu ditindak lanjuti oleh DPRD dengan hasil sidang paripurna istimewa DPRD Banyuangi yang menghasilkan persetujuan untuk mengusulkan pemberhentian Bupati Ratna Ani Lestari dari kursi jabatan Bupati Banyuangi masa bhakti 2005-2010. kepada mendagri melalui Gubernur Jawa Timur. Keputusan DPRD Banyuangi tersebut dituangkan dalam Keputusan DPRD Nomor 09 Tahun 2006 tentang usul Pemberhentian Kepala Daerah Banyuangi Ratna Ani Lestari untuk masa jabatan 2005-2010.
Munculnya berbagai ekses fenomena seperti yang disebutkan di atas, adalah berawal ketika lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi Daerah yang menyebabkan terjadinya pergeseran hubungan antara legislatif dan ekskutif daerah sebagai akibat terjadinya perubahan peran DPRD. Perubahan itu antara lain :
DPRD sebagai badan legislatif yang sejajar dengan ekskutif daerah ;
DPRD mempunyai hak penuh dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
Menerima pertanggung jawaban dari Kepala Daerah, disamping melakukan pengawasan ;
Hak-hak dewan sepenuhnya dapat dijalankan, bahkan di beri kewenangan mengelola anggaran DPRD ;
Pimpinan DPRD mempunyai kewenangan menyetujui penetapan Sekda ;
Tidak bisa direcall karena pernyataannya dalam rapat ;
Menyetujui APBD yang diajukan npemerintah.
Sebagai akibat menguatnya fungsi dan peran DPRD, menimbulkan masalah terjadinya penetrasi politisi dalam tubuh birokrasi. Hal ini terjadi dalam proses pemilihan Bupati/Walikota dan penempatan pejabat birokrasi daerah seperti Sekda, Kepala Dinas/Badan dan lainnya, dimana intervensi politisi sipil melalui dewan sangat kuat, tidak jarang menimbulkan berbagai masalah, mengingat jabatan birokrasi adalah jabatan karier, sehingga prosedur pengangkatannya mestinya dijauhkan dari kriteria politik. Munculnya ketegangan dalam hubungan Kepala Daerah dengan DPRD, seperti yang terjadi dibeberapa daerah, bertolak dari suatu ketentuan yang mengatur bahwa pimpinan DPRD mempunyai kewenangan untuk menyetujui calon Sekda. Ternyata moment ini dimanfaatkan oleh Kepala Daerah untuk ikut bermain dalam menentukan pejabat birokrasi daerah, terutama dari kader-kader partai politik mayoritas, dan ironisnya kadang-kadang mengabaikan asfek jabatan karier yang seharusnya memprioritaskan asfek profesionalaisme. Terjadilah politisasi birokrasi di lingkungan pemerintah daerah sehingga terjadi resistensi dari kalangan birokrat. Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan tentang persetujuan pimpinan DPRD dalam proses penetapan Sekda telah disalah artikan dan dijadikan moment oleh politisi DPRD untuk masuk dalam ranah birokrasi. Padahal ketentuan itu sebenarnya dimaksudkan agar antara Ekskutif dan Legislatif sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas kemajuan daerahnya ada persepsi yang sama mengenai tugas-tugas pemerintahan.
Timbulnya berbagai praktek negatif otonomi daerah itu direspon oleh pemerintah pusat, dengan cara menarik kembali kewenangan-kewenangan daerah tersebut ke pusat, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, yang merefleksikan secara telanjang suasana panik sebuah desentralisasi itu. Berdasarkan Undang-undang baru ini, kewenangan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam,investasi, kepegawaian dan promosi jabatan organisasi, legislasi dan penggalian potensi keuangan daerah telah dipangkas secara signifikan.Demikian pula halnya beberapa kewenangan DPRD sebagaimana disebutkan diatas dipangkas oleh pemerintah pusat melalui Undang-undang ini. Namun praktik-praktik permainan mendompleng kekuasaan birokrasi oleh segelintir oknum anggota DPRD, masih saja terlihat. Dan tidak saja anggota DPRD, pihak parlemen jalananpun ikut mempengaruhi perputaran roda birokrasi pemerintahan, akibatnya birokrasi menjadi ambur adul, karena penempatan pejabat birokrasi tidak semata ansich didasarkan atas kemampuan dan keahlian pejabat terseburt dalam bidang yang ditempati/didudukinya. Bagi pejabat yang dianggap membalelo dari kebijakan yang tidak populis itu, maka jabatan Staf Akhli (staf Khusus), setiap detik menantinya, walaupun ruang kerjanya tidak ada. Bagi pejabat Kabupaten/Kota yang tidak tahan di staf ahlikan ( di staf khususkan ) oleh Bupati/Walikota, mereka lalu mencari suaka ke Pemerintah Propinsi, mereka minta pindah tugas ke Propinsi. Perlakuan semacam ini sangat merugikan pegawai/pejabat di Provinsi, karena dengan adanya ekskodus ini ruang gerak pegawai Provinsi utuk peningkatan jenjang kariernya menjadi terbatas, karena peluang yang ada diisi oleh pejabat pelarian dari Kebupaten/Kota. Kiranya hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah Provinsi, agar tidak menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dari para Pegawai Provinsi.
Dibalik itu, tebitnya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 ini secara hakiki mengandung kontradiksi besar dalam dirinya sendiri (pemerintah pusat). Disatu pihak ia ingin memberi legitimasi yang kuat kepada kepala Daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat, namun dipihak lain Kepala Daerah dikebiri kewenangannya secara sistematik, sehingga menjadi aneh bahwa Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat lebih terbatas kewenangannya dibanding Kepala Daerah di masa lalu yang “hanya” dipilih oleh DPRD.
Itulah dinamika yang ada di Negara kita ini untuk kita sama-sama mengkaji dan menelaahnya secara professional, sehingga tidak menimbulkan efek negatif yang berkepanjangan yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap kelangsungan hidup kemasyarakatan
Kembali pada permasalahan para mantan calon Kepala Daerah yang belum punya nasib dan garis tangan untuk menjadi Kepala Daerah/Calon Kepala Daerah, sekaligus juga buat Kepala Daerah, kalau boleh kami mengajak sejenak untuk melihat terik langkah Kepala Pemerintahan yang tidak begitu saja menelantarkan mantan musuhnya dalam Pilkada. Kita lihat dan mengambil pelajaran dari kebesaran hati seorang Ronal Reagen (Mantan Presiden AS). Didalam pencalonan pendahuluan partai Republik untuk calon Presiden AS. Tahun 1980. Bush ( George Hebert Walker Bush), kalah melawan Ronald Reagen, tapi oleh Reagen, Bush diambil sebagai wakilnya melawan pasangan Jimmy Carter dan Walter Mondale, dan mereka menang. Tahun 1984 Reagen dan Bush melawan Walter Mondale yang berpasangan dengan Geraldine Ferraro, juga mereka menang untuk kedua kalinya memasuki Gedung Putih di 1600 Pennsylvania Avenue Washington D.C. ( istana kepresidenan Amerika Serikat ).
Atau tidak usah jauh-jauh, kasus Pemilihan Gubernur NTB. Tahun 2003 lalu, dimana Bapak Drs. H.Lalu Serinata yang berpasangan dengan Drs. HB. Thamrin Rayes. ( Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih ), salah satu rivalnya pada saat pemilihan adalah Drs. H.Harun Al Rasyid yang berpasangan dengan Ir.H.Nanang Samodra.KA.,M.Sc., dimana saat itu Ir. H. Nanang Samodra KA.M.Sc. adalah Sekda NTB. Walaupun Bapak Drs. H.L.Serinata memperoleh kemenangan dan ketika itu Bapak Ir.H.Nanang Samodra. KA.M.Sc. merupakan musuh dalam Pilkada, tapi ketika atau setelah dilantik jadi Gubernur, beliau tetap mempertahankan Ir. H.Nanang Samodra KA. M.Sc. sebagai Sekretarais Daerah NTB. Walaupun pada saat itu, bahkan sampai sekarang ini terus ada desakan agar Gubernur ( Bapak Drs.H.Lalu Serinata ) mengganti Ir. H.Nanang Samodra. KA. M.Sc. menjadi Sekretaris Daerah.
Marilah kita perfikir jernih untuk tidak memperpanjang persoalan dan memperluas komplik, hanya karena kepentingaan sepihak. Seorang pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang mau dan mampu merangkul semua pihak demi kepentingan yang lebih luas. Semua kita harus sadar bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang kekal dan abadi, termasuk kedudukan dan jabatan. Kita tidak tau entah sekarang, nanti atau esok semua itu akan berakhir. Hanya “nama” yang tertinggal abadi. Dan apakah “nama” yang kita tinggalkan itu adalah nama baik atau nama yang diselimuti caci maki karena ulah kita yang tidak terpuji ?

Mataram, 05 Mei 2006.



MUSA SHOFIANDY

Pemerhati masalah Sosial Kemasyarakatan
Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar