Sabtu, 27 Desember 2008

ANGGOTA DPRD AJAK MASYARAKAT GOLPUT, SEBAIKNYA MUNDUR SAJA

ANGGOTA DPRD AJAK MASYARAKAT GOLPUT
SEBAIKNYA MUNDUR SAJA
Oleh : Dr.H.Musa Shofiandy.MM.

Semula, tidak pernah terfikir dalam benak saya untuk mengomentari seputar issue akan munculnya Golput dalam Pilkada NTB Tahun 2008 ini. Namun setelah mendengar dan membaca beberapa berita dari berbagai masmedia yang ada terutama yang ada di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini, perihal adanya beberapa oknum anggota DPRD di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Dompu yang ikut memprovokasi agar masyarakat di ketiga Kabupaten/Kota itu tidak ikut menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada NTB 2008 serta adanya Gerakan dari Asosiasi Kepala Desa yang ada di tiga Kabupaten/Kota yang juga mengancam untuk tidak akan mendirikan TPS di masing-masing Desanya, karena tidak terakomodirnya Cagub/Cawagub yang berasal dari ketiga Kabupaten/Kota tersebut, saya jadi merasa terpanggil untuk ikut memberikan komentar atas hal tersebut. Dan yang bikin saya tidak habis fikir adalah karena adanya pernyataan yang berupa provokasi dari anggota Dewan yang terhormat untuk mengajak masyarakat Golput. Kalau saja suara dan ungkapan itu tidak keluar dari seorang anggota Dewan yang terhormat, misalnya dari oknum masyarakat, dari anggota LSM atau organisasi lain yang tidak memiliki hak dan kewenangan untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, tidak ada masalah, adalah wajar mereka bersuara seperti itu, tapi kalau hal itu dilakukan oleh anggota Dewan yang terhormat, adalah merupakan kekeliruan dan kesalahan besar. Sadarkah para anggota Dewan yang terhormat tersebut akan pernyataan dan tindakan yang dilakukan itu ? Bukankah para anggota Dewan yang terhormat itu adalah para wakil rakyat yang seharusnya tidak akan melakukan hal seperti itu ? Dan sadarkah anggota Dewan yang terhormat itu bahwa mereka duduk menjadi anggota Dewan yang terhormat adalah merupakan penjelmaan dan utusan dari Partai Politik yang memiliki hak dan kewenangan untuk menentukan dan menetapkan Calon Kepala Daerah (Cagub/Cawagub), Dus dengan demikian kenapa anggota Dewan yang terhormat itu tidak berfikir logis bahwa tidak terakomodirnya Cagub/Cawagub dari ketiga Kabupaten/Kota itu adalah merupakan kesalahannya sendiri yang kemudian akan dilimpahkan pada pihak lain ? Apakah dengan tindakan ini tidak merupakan alat mereka untuk menyembunyikan ketidak mampuan mereka membawa dan menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya ? Waaaaahh... tidak bisa lagi saya ungkap berbagai pertanyaan yang menyelimuti hati dan fikiran saya dalam menyikapi masalah ini. Dan sepengetahuan saya, baru kali ini terjadi di Indonesia, ada anggota Dewan yang terhormat memprovokasi masyarakat agar Golput. Ada apa denganmu?
Coba mari kita ulas permasalahan tersebut.

Proses dan Prosedur Penentuan Cagub/Cawagub.
Adalah sangat tidak masuk dalam pemikiran akal sehat, jika anggota Dewan yang terhormat yang memprovokasi masyarakat agar tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) dalam Pilkada, karena dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita ini, pasangan Calon Kepala Daerah/wakil kepala daerah diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik, dan para anggota Dewan yang terhormat adalah merupakan utusan dan atau pengurus dari Partai Politik.
Dalam pasal 59 ayat (1) UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Demikian pula halnya ketentuan yang termuat dalam PP RI Nomor 6 Tahun 2005, tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala Daerah. Pasal 36 ayat (1) berbunyi :”Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik secara berpasangan”
Dari kedua aturan yang mendasari proses pencalonan, mulai dari penjaringan calon sampai dengan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sepenuhnya adalah merupakan hak dan kewenangan dari partai politik dan atau gabungan partai pilitik yang ada. Dengan demikian, maka jelas dan sangat jelas bahwa anggota Dewan yang terhormat yang merupakan penjelmaan dari partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD itulah yang juga memiliki hak dan kewenangan untuk mengajukan dan menetapkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Yang menjadi persoalan besar dan tanda tanya kita sekarang adalah, kenapa justru anggota Dewan yang terhormat, yang telah memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah itu yang justru mengeluarkan suara dan memprovokasi masyarakat agar Golput (tidak memilih), karena tidak adanya keterwakilan dari Bima/Dompu dalam pasangan Cagub/Cawagub NTB? Kenapa tidak ketika proses pencalonan (sebelum penetapan calon) itu mereka ngomong, tidak memperjuangkan di partainya agar ada keterwakilan Bima/Dompu, kenapa diam dan setuju saja atas keputusan partainya yang tidak mengakomodir Bima/Dompu, apakah ini karena takut meninggalkan kursi empuk di Dewan ?
Tidak ada dalam benak siapapun di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini yang meragukan kemampuan dan kualitas saudara-saudara saya di tiga Kabupaten/Kota itu. Buktinya kan banyak, entah telah jadi Gubernur bahkan Menteri pun berasal dari saudara-saudara saya di tiga Kabupauen/Kota ini. Jadi tidak ada yang meragukannya, entahlah kalau saudara anggota Dewan yang terhormat sendiri yang meragukannya sehingga tidak mengajukan dan memperjuangkannya agar bisa terpilih dan ditetapkan menjadi Cagub/Cawagub.
Kami masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara barat, khususnya masyarakat Lombok, Sumbawa, Hindu Bali dan etnis lainnya, berharap dan sangat berharap kepada anggota Dewan yang terhormat yang telah mengeluarkan kata dan ucapan yang menjurus kepada provokasi agar masyarakat tidak memilih (Golput), untuk tidak membuat gusar masyarakat, karena akibat dari ucapan dan tindakan itu amat besar.

Seharusnya Anggota DPRD Mundur.
Dengan melihat proses dan prosedur penentuan Cagub/Cawagub tersebut di atas, maka para anggota DPRD yang terhormat yang sekaligus juga merupakan pengurus Partai Politik yang ikut menentukan Cagub/Cawagub, tidak seharusnya akan memprovokasi masyarakat untuk Golput karena yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penentuan dan pengajuan Cagub/Cawagub adalah mereka sendiri. Mestinya dari sejak awal, kalau memang benar, sekali lagi kalau memang benar aspirasi masyarakat di tiga Kabupaten/Kota itu menghendaki adanya Cagub/Cawagub yang mewakili ke tiga daerah itu, maka dari sejak awal para anggota yang terhormat itu memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Upaya yang harus dilakukan antara lain adalah dengan mempersatukan diri ( anggota Dewan yang terhormat yang berasal dari tiga Kabupaten/Kota) mengupayakan secara maksimal dengan berbagai cara agar DPD Partai Politik yang berasal dari ke tiga Kabupaten/Kota itu memperjuangkan agar ada Cagub/Cawagub yang berasal dari etnis Bima/Dompu. Tapi kenapa, ketika proses penjaringan dan dalam penentuan Cagub/Cawagub oleh Parpol mereka hanya diam saja, dan hanya setuju saja, tidak melakukan aksi, misalnya dengan tidak mau menanda tangani kesepakatan Cagub/Cawagub yang di usung Partainya atau para anggota Dewan yang terhormat itu mengambil sikap mundur saja dari Partai Politik yang mengantarkan mereka menjadi anggota Dewan yang terhormat, karena aspirasi dan keingingan masyarakatnya tidak bisa tersalurkan. (Harus jantan dong, tidak menyembunyikan kegagalan anggota Dewan yang terhormat untuk mengusung Cagub/Cawagub, dengan melempar bola api panas ke masyarakat yang bisa berakibat merugikan seluruh masyarakat Nusa Tenggara Barat). Dimana letak tanggung jawab anggota Dewan yang terhormat terhadap masyarakatnya ? Kalau keinginan untuk Golput itu, tidak murni aspirasi masyarakatnya, kenapa mereka (anggota Dewan yang terhormat) bersuara lantang sebagaimana yang diberitakan media masa akhir-akhir ini, yang ujung-ujungnya memprovokasi masyarakat Bima/Dompu agar Golput (tidak memilih). Dimana pemikiran dan hati nurani anggota Dewan yang terhormat ? Apakah rasa nasionalisme dan kebangsaan kita sudah sedemikian rapuh dan luntur ? Kiranya perlu lagi lebih banyak kita belajar dan membaca buku yang berkaitan dengan demokrasi, ketatanegaraan, pemerintahan, kemasyarakatan, hukum, sosial politik dan berbagai literaur lainnya hingga kita tidak menjadi penyelenggara negara yang sok tau, sok pintar, dan asal bunyi, tanpa menganalisa akibat yang akan timbul dengan kata dan kalimat yang kita ucapkan. Tahukah anggota Dewan yang terhormat akibat yang akan terjadi, jika saja masyarakat Bima/Dompu betul-betul Golput ? Untuk anggota Dewan yang terhormat tahu, kalau saja Pilkada NTB 2008 dilakukan, kemudian sebagai akibat pernyataan anggota Dewan yang terhormat, seluruh masyarakat Bima/Dompu akan Golput, yang pada akhirnya akan mengakibatkan Pilkada NTB 2008 menjadi batal karena banyaknya masyarakat yang tidak memilih, maka yang rugi adalah seluruh masyarakat Nusa Tenggara Barat, karena puluhan milyar uang yang dikeluarkan untuk membiayai Pilkada NTB 2008 itu adalah uangnya rakyat, bukan uangnnya anggota Dewan yang terhormat. Dengan gagalnya Pilkada NTB 2008, maka sudah pasti dan wajib hukumnya untuk melakukan Pilkada ulang yang sudah pasti juga akan membutuhkan dana puluhan milyard rupiah. Mari kita merenung sambil berfikir logis dan obyektif.
Kecewa jangan dipolitisasi.
Berbicara masalah kecewa (kekecewaan) tidak saja saudara-saudara saya di tiga Kabupaten/Kota itu yang kecewa, kami juga masyarakat yang ada di Lombok juga melebihi kekecewaan saudara-saudaraku, seperti saudara-saudara kami yang ada di Lombok Tengah, Lombok Barat, Kota Mataram, dan lebih-lebih lagi kekecewaan dari organisasi kami Yayasan AMPHIBI yang memiliki anggota riel lebih dari 400 ribuan orang, sebagaimana dikatakan oleh Ketua Posko AMPHIBI Lombok Tengah H.Lalu Kelan S.Pd. Sebagai organisasi yang cukup besar dan telah terbukti perannya, terutama dalam membantu aparat keamanan dalam tugasnya mengamankan masyarakat Nusa Tenggara Barat, tidak pernah mendapatkan perhatian dari Pemerintah, apalagi dari Partai Politik serta para Bacagub/Bacawagub. Kami di Pamswakarsa AMPHIBI, termasuk juga dari Pamswakarsa yang lainnya seperti, Elang Merah, Buru Jejak, Dharma Wisesa, Sapujagad dan beberapa Pamswakarsa lainnya. Tapi kekecewaan kami-kami itu tidak pernah kami ungkap secara pulgar, apalagi sampai mengajak masyarakat untuk tidak memilih (Golput), walaupun kami-kami di Pamswakarsa memiliki anggota riel yang berasal dari berbagai etnis yang ada di Nusa Tenggara Barat ini. Padahal kalau saja Partai Politik atau Bacagub/Bacawagub berfikir jernih, maka mereka tidak akan menyepelekan keberadaan kami Pamswakarsa, dan kalau mereka bisa berkoordinasi dengan kami (Pamswakarsa), Insya Allah akan menang dalam Pilkada NTB 2008.
Mestinya, kalau saja pemikiran kita sama, alangkah indah, serasi dan edialnya kepemimpinan di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini setelah Pilkada NTB 2008 mendatang, karena Gubernurnya dari Etnis Sasak, Wakil Gubernur dari etnis Sumbawa dan Sekretaris Daerah yang merupakan orang pertama di Birokrasi Pemerintahan berasal dari etnis Bima/Dompu. Tahukah atau sadarkah anggota Dewan yang terhormat, kedudukan, tugas dan fungsi seorang Sekretaris Daerah ? Kalau sudah tahu mohon direnungkan kembali secara jernih dan mendalam, tapi kalau belum tahu, jangan enggan dan segan serta malu untuk mempelajari dan memahaminya.
Jadi, kekecewaan yang ada dalam fikiran pribadi, keluarga atau kelompok, jangan di generalisasikan menjadi kekecewaan seluruh masyarakat Bima/Dompu. Kekeliruan dan kesalahan yang telah dilakukan dengan tidak memperjuangkan secara maksimal keterwakilan masyarakat Bima/Dompu untuk menjadi Cagub/Cawagub, jangan lalu diselimuti bola api yang dapat membakar dan menghancurkan rasa persaudaraan dan kebersamaan kita segenap masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara Barat.

Mengakomodir Kekecewaan
Revisi UU RI Nomor 32 Tahun 2004 yang telah disyahkan oleh DPR pada tanggal 1 April 2008, adalah merupakan satu-satunya jalan untuk mengakomodir kekecewaan masyarakat atas kesewenangan partai politik atau gabungan partai pilitik dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, walaupun revisi UU RI tersebut belum ditanda tangan Presiden dan belum di bukukan dalam Lembaran Negara RI. Tetapi kita yakin bahwa Insya Allah mulai tanggal 1 Mei 2008 revisi UURI tersebut akan mulai diberlakukan, karena jeda waktu satu bulan (30 hari) sejak pengesahan DPR, ditanda tangani atau tidak oleh Presiden, revisi UURI tersebut dianggap syah untuk diberlakukan. Dengan pemberlakuan revisi UURI tersebut, maka keikutsertaan calon Independen dalam Pilkada Kepala Daerah dapat terakomodir, dan ini adalah merupakan jalan terbaik mengakomodir aspirasi masyarakat yang kurang sreg dengan ulah polah partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat dalam pengajuan dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
Mestinya, upaya yang harus dilakukan oleh anggota Dewan yang terhormat adalah, bagaimana agar hasil revisi UURI Nomor 32 Tahun 2004 itu sesegera mungkin ditanda tangani oleh Presiden, sehingga kita tidak harus menunggu 30 hari. Ambil contoh seperti DPRD Jawa Timur yang akan melakukan Pilkada tanggal 23 Juli 2008, mereka para anggota Dewan yang terhormat di Jawa Timur, pro aktif untuk mempersiapkan kemungkinan pemberlakuan revisi UURI Nomor 32 Tahun 2004. Demikian pula daerah-daerah lain yang akan melaksanakan pesta demokrasi Pilkada tahun 2008 ini seperti, Provinsi Bali yang akan melaksanakan Pilkada tanggal 9 Juli 2008, Kota Bandung Jawa Barat ( 10 Agustus 2008), Jambi (20 Agustus 2008), Lampung, Sumatera Selatan dan beberapa daerah lainnya, semuanya menuntut agar calon independen dapat diikutsertakan dalam Pilkada dan daerah-daerah tersebut semuanya minta agar Pilkada di daerahnya di undurkan, hingga terakomodirnya calon independen. Bukankah upaya dan cara itu lebih baik dan lebih bermartabat daripada memprovokasi masyarakat agar Golput ?
Yang pasti dari semua itu untuk sementara ini adalah adanya kejelasan dan ketegasan dari Pemerintah terhadap pemberlakuan revisi UURI Nomor 32 tahun 2004 yang telah disyahkan DPR pada tanggal 1 April 2008 lalu. Kalau saja tidak ada kejelasan dan ketegasan sikap Pemerintah, maka tidak akan dapat terhindarkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam Pilkada tahun 2008 ini, karena masing-masing pihak yakni Gerakan Nasional Calon Independen dan KPU sebagai penyelenggara Pilkada, masing-masing mempertahankan argumentasi pembenar atas apa yang dilakukan, akhirnya rakyat banyaklah yang menjadi korban demokrasi. Akankah perseteruan ini berlanjut atau berhenti dengan adanya salah satu pihak yang mengalah ? Wallahu A’lam Bissawab.

Mataram, 05 April 2008.
Penulis adalah
Pemerhati masalah Sosial Kemasyarakatan dan
Ketua Badan Pengawas DPP Yayasan AMPHIBI.

WAJAH BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

WAJAH BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh

DR.Drs.H.Musa Shofiandy,SH.MM.

Ketika Gendang Pilkada sudah berhenti ditabuh dan pihak KPU sebagai penyelenggara Pilkada telah menetapkan Calon terpilih, maka selesailah tugas KPU sebagai institusi penyelenggara Pilkada, dan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah trerpilih tinggal menunggu saat-saat pelantikan untuk kemudian duduk manis di kursi Kepala Daerah yang telah lama diidamkan, sambil menyusun agenda kegiatan dan strategi yang akan dan harus dilakukan guna memenuhi janji kampanyenya mensejahterakan masyarakat sementara Calon yang kalah dengan sikap kesatria dan jantan menerima kekalahan itu sebagai proses demokrasi dan mengembalikan semua itu pada Kodrat Ilahi Rabbi.
Itulah sebenarnya yang sangat kita harapkan dalam setiap proses Pilkada, apakah Gubernur, Bupati/Walikota. Namun harapan akan kenyataan seperti di atas masih jauh dari realita yang ada. Begitu KPU selesai merekapitulasi perolehan suara masing-masing calon, kemudian dilanjutkan dengan pengumuman hasil Pilkada, tanpa sebab dan alasan yang jelas sudah pasti diikuti dengan munculnya berbagai gejolak yang umumnya dilakukan oleh pihak calon yang kalah. Berbagai argumentasi diajukan untuk menyatakan bahwa mereka yang kalah tidak menerima kekalahan, bahkan tidak jarang pula terjadi argumentasi disertai dengan bentrok pisik, baik antar pendukung maupun antara pendukung yang kalah dengan pihak aparat keamanan. Padahal sebelum pemungutan suara dilakukan, semua calon sama-sama telah bersepakat dan menanda tangani perjanjian untuk siap kalah dan siap menang, tapi itu hanya merupakan kamuflase untuk menarik simpati masyarakat
Sejak setelah KPU mengeluarkan pengumuman resmi pemenang Pilkada, masing-masing pihak yang kalah sibuk mencari data-data pelanggaran Pilkada (terkadang juga pelanggaran dibuat sendiri), sebagai bahan dan bukti gugatan mereka baik gugatan ke KPU, ke Pengadilan maupun ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan dilakukan dan pihak KPU dan atau pengadilan mengadakan sidang-sidang yang selalu diwarnai dengan unjuk rasa, adu otak dan adu otot antar masing-masing pendukung, bahkan dengan aparat yang berusaha keras melerai bentrok antar mereka. Kita tidak bisa lagi menerka dan menghitung berapa kerugian yang diderita sebagai dampak dari Pilkada itu, baik kerugian dari pihak Calon (baik pemenang maupun calon yang kalah) serta kerugian bagi negara, karena dalam bentrokan yang terjadi, umumnya yang dijadikan sasaran empuk untuk dirusak oleh para pendukung calon adalah asset-asset milik negara/darerah. Inilah salah satu imbas negatif dari pelaksanaan Pilkada Langsung. Sementara Tim Sukses Calon terpilih bukannya sibuk dengan mempersiapkan program kerja Kepala Daerah terpilih sebagaimana janji politik kepada rakyat dalam kampanye, bukan pula mengidentifikasi berbagai permasalahan daerah yang menyebabkan belum sejahteranya masyarakat, belum adanya pemerataan keadilan, masih merajalelanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan berbagai ketimpangan sosial lainya, akan tetapi tahap awal yang dilakukan adalah menyusun kabinet yang katanya menempatkan orang-orang (pejabat) yang bisa di ajak kerjasama. Atas desakan dan dorongan Tim Sukses yang merasa telah berjasa mengantarnya menjadi Kepala Daerah, maka Kepala Daerah terpilih terbuai dan terpengaruh untuk melakukan pergantian (mutasi) pejabat dengan menempatkan orang-orang yang dianggap telah berjasa dalam Pilkada. Memang, Penempatan Pejabat atau krennya reformasi Birokrasi amatlah penting, karena bagaimanapun seorang Pemimpin haruslah didampingi oleh orang-orang yang sejalan dengannya. Sejalan dalam arti positif, bukan sejalan untuk bisa seenaknya menerapkan praktik-praktik KKN. yang telah menjadi momok mengerikan bagi masyarakat, tapi penempatan pejabat hendaklah benar-benar didasarkan atas dasar profesionalisme, kompetensi, bakat, kemampuan dan keahlian pejabat yang bersangkutan dalam bidang dimana ia ditempatkan, bukan didasarkan atas dasar suka tidak suka terhadap seseorang. Jika seorang pemimpin menempatkan seseorang hanya didasarkan atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja, maka bagi yang kurang kuat pendiriannya, mulai dengan gerakan kasak kusuk, lobi sana lobi sini mencari jalan, bagaimana agar ia mendapatkan perhatian sang penentu kebijakan. Evendhy M.Siregar dalam bukunya “Bagaimanan Menjadi Pemimpin Yang Berhasil” mengatakan : “bagi yang kurang kuat pendiriannya, mulai melakukan pekerjaan munafik. Maikin lama, makin banyak munafiknya, karena sudah terbiasa. Malahan berbuat munafik sudah dianggap biasa atau sesuatu yang seharusnya dilakukan. Karena sudah terbiasa, seperti tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dan setelah terbiasa melakukan pekerjaan munafik, begitu memegang kunci penentu (decesion maker/determinator), sudah terlatih. Nalurinya sudah peka bagaimana mengibuli rakyat (anggota). Inderanya begitu tajam mana yang bisa dimunafikkan. Kemunafikan itu bukan saja dimana ia memimpin, tapi diorganisasi lainpun ia berbuat munafik. Apabila yang diuraikan di atas dapat diterima, kita tidak perlu heran jika ada kader, tidak berani menyatakan pendapatnya, berpegang teguh lebih baik diam, pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh adalah yang terbaik dari yang baik. Kader seperti itu bukan saja secara sadar atau tidak, telah menjadi seorang munafik, tetapi juga telah mendidik dirinya sendiri menerima apa adanya atau menyesuaikan diri saja terhadap situasi dan kondisi yang sedang terjadi sehingga keterbukaan dan pembaharuan akan “status quo” akan berjalan ditempat yang pada gilirannnya tidak akan dapat melahirkan kader yang berbobot.”
Apa yang dikemukakan Evendhy M.Siregar diatas dapat dibenarkan, karena dizaman reformasi yang kebablasan ini, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang takut kehilangan status social (jabatan)nya, jarang kita jumpai orang seperti Rudini (Mantan Mendagri pada Era Kepemimpinan Soeharto), karena terbukti ketika ia masih menjabat Mendagri, seringkali ia menyatakan dengan nada keras bahwa dewasa ini banyak orang yang bermuka tebal, berkulit badak, ndableg dan tak tahu malu. Mereka hanya menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga saja. Kan lebih baik bikin proyek yang bermanfaat untuk rakyat kecil seperti PIR. “itulah sebabnya mengapa saya selalu berbicara dengan nada keras” sebab banyak orang sekarang yang sulit diajak bicara secara halus, walaupun sebenarnya bangsa kita orang halus dan lemah lembut. Rudini menambahkan bahwa ia tidak takut kehilangan jabatan karena ucapan yang keras. Kalau pak Harto bilang “tidak usah” ya sudah. Saya mundur saja, ucapnya. Adakah orang seperti Rudini, saat ini ? Wallahua’lam.
Sekarang ini, banyak kita jumpai orang, khususnya di Birokrasi pemerintahan, orang, lebih-lebih pejabat yang takut kehilangan status social atau copot dari jabatannya, tidak berani mengeluarkan pendapat, memberikan saran dan masukan kepada Pimpinan apalagi dalam bentuk kritik, mau tak mau sementara organisasi kurang melahirkan kader yang kreatif dan dinamis. Jika sikap diam dan pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh berkembang, sadar atau tidak telah mengajar kader untuk gandrung/cendrung mengalah dan mengorbankan hati nuraninya, dengan harapan akan memperoleh jabatan (kedudukan) atau kehidupan yang lebih baik sehingga kader itu akan malas dan labil berfikir. Jika malas dan labil berfikir ini timbul, maka keinginan untuk membuat prestasi akan goyah dan rapuh. Yang lebih buruk, para kader akan memiliki kecendrungan untuk menipu dirinya sendiri sehingga tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Kader demikiian, dikhawatirkan tiap hari akan terus bertambah banyak sedangkan kader yang berani bertanya, berani memberikan saran masukan pada pimpinan dengan prinsip kebenaran, jujur pada dirinya sendiri, dan tetap memegang prinsip mempunyai resiko, tidak akan dapat jabatan dan kedudukan, jumlahnya akan semakin mengecil.
Dalam tulisan berikutnya, Evendhy M.Siregar, mensitir ungkapan seorang politikus amatiran yang mengatakan “ Bung harus belajar menyesuaikan diri. Kita harus luwes bergaul, supaya hidup kita selamat dan karier bisa menanjak. Tidak salah sedikit-sedikit munafik. Supaya jangan lain dari yang lain. Nanti orang akan muak melihat kita, karena dikira sok suci. Toh banyak sekarang orang sudah munafik, malahan ada yang munafiknya sudah segudang. Munafik kecil-kecilan, kan tidak apa-apa?” ungkap politik amatiran itu. Rupanya falsafah inilah yang sekarang banyak di praktekkan oleh sebagian besar pejabat Birokrasi Pemerintahan kita.
Adakah timbulnya gejala/fenomena seperti di atas merupakan imbas dari penerapan Otonomi Daerah, yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri ? Setuju atau tidak, dalam kenyataannya dengan deberlakukannya otonomi Daerah sejak tahun 1999 lalu, membawa dampak positif terhadap kondisi sosio politik diberbagai daerah termasuk di Nusa Tenggara Barat. Penerapan Otonomi Daerah, menunjukkan adanya proses integrasi antara kondisi local dan sistem hukum otonomi daerah yang baru sehingga melahirkan sebuah gambaran yang unik mengenai otonomi daerah.
Untuk Daerah Nusa Tenggara Barat, sistem pemerintahan memperlihatkan berkembangnya sistem pemerintahan yang sentralistik dengan tradisi local dan hubungan patron-klien yang masih terus berlangsung diantara birokrat. Hal ini membuat rendahnya kepedulian pemerintah daerah itu untuk melakukan otonomi daerah (M.Mas’ud Said, 2005). Gambaran mengenai hal ini, lebih jauh diungkapkan oleh M. Mas’ud Said “Praktek-praktek sehari-hari memberikan gambaran mengenai seberapa jauh teknik-teknik sentralistik dan hirarkis yang lama masih terjadi dalam pemerintahan Provinsi. Dalam proses pengambilan kebijakan sehari-hari, kebanyakan pejabat seniorlah yang menentukan banyak hal. Semakin senior seorang birokrat, semakin dia yang menentukan keputusan. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa prosedur-prosedur administrasi dan pemerintahan didominasi oleh elit-elit local” Pengejawantahan keadaan diatas ini, adalah merupakan ekspelimentasi dari teoritik yang mengatakan “: Ekspresi permasalahan local sangat beragam. Masing-masing Daerah dituntut untuk mengelola dinamikanya sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat” (PLOD UGM & Dep.Dalam Negeri.RI,2004). Dengan keadaan situasi dan kondisi yang beragam inilah, maka dibutuhkan kecakapan dan kecerdasan tersendiri dalam mengelolanya agar menjadi produktif dan dinamis. Banyak hal yang perlu dipecahkan di dalam mendorong pelaksanaan otonomi daerah, terutama yang berkaiatan dengan mesin-mesin birokrasi pemerintahan agar dapat bekerja sebagaimana mestinya, yakni menjadi pelayan masyarakat, dan juga timbulnya kesadaran baru dikalangan masyarakat sendiri dalam menjalin relasi atau berhadapan dengan birokrasi atau aparat pemerintahan.
Lokalitas memiliki ruang, identitas dan perwatakan yang khas karena itu memiliki dinamika tersendiri yang tidak dapat dicampur adukkan dan digeneralisir sedemikian rupa, sekalipun dibalik kekhasan dinamis yang dimilikinya terkadang menyimpan pula persamaan pola, kepentingan dan sejenisnya (Geert;2003). Dari kekhasan dan perwatakan local yang dinamis tersebut, problem lokalitas dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan local yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat di dalamnya. Disinilah mengapa aspek lokalitas menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan dinamika politik local.
Sebagai eksponen penyelenggaraan pemerintahan daerah, para pejabat daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengelola dinamika politik secara pro aktif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pengelolaan dinamika politik ini seyogyanya mengacu pada bekerjanya institusi-institusi local. Kaitannya dengan hal ini, pejabat pemerintah yang bermaksud untuk ambil bagian dalam mengelola dinamika masyarakat dituntut untuk faham terhadap pasang surutnya dinamika tersebut. Namun sayang, karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang arti dan pemahaman politik (politik lokal) membuat mereka jadi seenaknya saja melakukan politik yang justru menjurus pada politik busuk, semua hal dipolitisir dengan mengemukakan alasan-alasan yang dibuat sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma politik itu sendiri, tidak jarang mereka selalu mencari dan mengemukakan kata-kata pembenar yang justru sebenarnya tidak benar. Akibatnya konotasi politik itu sendiri menjadi amburadul dan berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat.
Keadaan semacam ini juga terjadi dalam Birokrasi Pemerintahan, lebih-lebih di era otonomi daerah yang oleh beberapa kalangan menyebutnya sebagai otonomi yang kebablasan. Para Kepala daerah se olah menjadi raja kecil di daerah kekuasaannya, berbuat dan bertindak dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri dengan alasan dan argumentasi yang dibuat sendiri tanpa mempertimbangkan dan atau berpijak pada ketentuan hukum yang berlku di negara kita yang berazaskan hukum ini.
Beberapa kejadian yang sangat menyentuh dan membingungkan kita dewasa ini, lebih-lebih di era otonomi daerah ditambah lagi dengan sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung ini antara lain, kita lihat pasca pemilihan Kepala Daerah, begitu mereka dinyatakan menang, Kepala Daerah tidak pernah terlihat menggandeng atau merangkul Kepala Daerah yang kalah, tapi justru dijadikan musuh. Permusuhan itu nyata terlihat ketika Kepala Daerah terpilih dengan desakan Tim suksesnya, tidak berapa lama setelah dilantik, ia lalu melakukan mutasi (pergantian pejabat) di Birokrasi Pemerintahan dengan menggusur tanpa ampun, tanpa dasar etika hukum yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Semua pejabat (terutama para Kepala SKPD) yang ada di zaman pemerintahan Kepala Daerah yang lama, diganti dengan menempatkan orang-orangnya dia, orang-orangnya Wakil Kepala Daerah, orang-orang Tim Sukses mereka dan dari keluarga dan kerabat dekat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bukti riel hal ini terjadi di beberapa Daerah Kabupaten/Kota bahkan di tingkat Provinsi. Ketika Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah sudah duduk di kursi singgasana pucuk pimpinan di daerahnya, bukannya program kerja yang menyentuh kehidupan masyarakat banyak yang dilakukan, bukannya melakukan kegiatan yang menjurus kepada pemenuhan janji kampanyenya, bukannya program bagaimana memajukan masyarakat dan daerah yang di utamakan, akan tetapi program mutasi pejabat lah yang menjadi program prioritas. Syukur kalau mutasi itu dilakukan dengan niat dan iktikad baik, menyesuaikan tempat dan kedudukan pegawai/pejabat sesuai dengan tingkat kemampuan/kualitas pegawai atau pejabat, sesuai dengan profesionalisme dan atau tingkat kompetensi yang ada dan dimiliki, tetapi umumnya adalah untuk memberikan peluang dan kesempatan kepada orang-orang yang telah berjasa memenangkannya, orang dan keluarga dekatnya dan orang-orang yang memiliki kemampuan cari muka dihadapannya.
Di Birokrasi pemerintahan, baik tingkat Provinsi maupun di Kabupaten/Kota, bila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah telah berganti, maka para Kepala SKPD dan pejabat lainnya sudah mulai tidak tenang dalam bekerja, karena sudah pasti tsunami mutasi akan menimpa mereka. Kita lihat di satu daerah Kabupaten yang ada di Nusa Tenggara Barat ini, begitu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dilantik, tidak lama setelah itu, semua SKPD dan semua Camat digusur, disapu habis dan dicopot dari jabatannya tanpa ampun, tanpa melalui proses hukum yang jelas, dan yang amat menyakitkan dan menyedihkan adalah bahwa para pejabat yang dicopot itu tidak lagi dikasi jabatan (Non Job). Kita sangat sayangkan tindakan dari sang penguasa Kepala Daerah seperti ini, sebab bukti riel memperlihatkan bahwa dintara beberapa Camat yang dicopot dan di non jobkan itu, terdapat beberapa Camat yang berprestasi bahkan pernah meraih Camat Teladan di tingkat Kabupaten, bahkan Camat tersebut telah mendapatkan penghargaan dan Satya Lencana dari Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono atas prestasinya. Penghargaan dan Satya Lencana tersebut telah diserahkan kepada Camat yang bersangkutan pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Emas Nusa Tenggara Barat tanggal 17 Desember 2008 lalu. Tapi kenapa Camat tersebut justru di copot dari jabatannya bahkan dikenakan hukuman Non Job oleh Bupati. Ada apa ini ? Inikah yang harus dilakukan untuk sebuah pretasi ? Camat yang dicopot itu, adalah camat yang dekat dengan rakyat, disayang sama masyarkatnya, buktinya ketika masyarakatnya mendengar bahwa Camatnya dicopot, sampai berbulan-bulan mereka mendatangi rumah mantan Camatnya. Adakah kekeliruan dan kesalahan dari pejabat seperti ini hingga di copot dan di non jobkan, kalau memang ia, kenapa tidak diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Apa ini bukan yang namanya bertindak semau gue ? Kenapa pula kita tidak berfikir bahwa seandainya hal seperti yang dilakukan itu terjadi (menimpa) diri kita sendiri, bagaimana perasaan kita ? Padahal dalam kampanyenya dan bahkan ketika telah dinyatakan keluar sebagai pemenang, Kepala Daerah tersebut selalu mengucapkan kata bahwa ia akan bertindak adil, tidak dendam dan akan menempatkan pejabat sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme yang dimiliki masing-masing, bahkan ketika telah melakukan mutasipun ia sempat mengatakan bahwa dalam mutasi telah dilakukan sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme masing-masing, mengakomodir para lulusan APDN sebagai Camat karena memang para alumni APDN disiapkan untuk itu, tapi kenyataannya ? banyak dari mereka yang di non jobkan dan menempatkan Camat dari pegawai yang berpendidikan Sarjana agama dan sarjana pendidikan. Demikian pula yang terjadi di daerah lainnya, ada pejabat yang pangkat/golongannya lebih rendah dari bawahannya, ada pejabat yang memang menjadi Kepala SKPD sesuai dengan keahlian yang dimiliki, tapi juga digusur tanpa sebab dan akibat yang jelas, mereka lalu di non jobkan. Makanya istilah Non Job inipun sekarang telah menjadi momok yang mengerikan bagi pejabat. Apakah ini yang dinamakan profesionalisme ? Pemimpin semacam inilah yang memang harus ada di zaman sekarang ini ?. Wallahua’lam bissawab.........................
Kalau boleh kami mengajak sejenak untuk melihat terik langkah Kepala Pemerintahan yang tidak begitu saja menelantarkan mantan musuhnya dalam Pilkada. Kita lihat dan mengambil pelajaran dari kebesaran hati seorang Ronal Reagen (Mantan Presiden AS). Didalam pencalonan pendahuluan partai Republik untuk calon Presiden AS. Tahun 1980. Bush ( George Hebert Walker Bush), kalah melawan Ronald Reagen, tapi oleh Reagen, Bush diambil sebagai wakilnya melawan pasangan Jimmy Carter dan Walter Mondale, dan mereka menang. Tahun 1984 Reagen dan Bush melawan Walter Mondale yang berpasangan dengan Geraldine Ferraro, juga mereka menang untuk kedua kalinya memasuki Gedung Putih di 1600 Pennsylvania Avenue Washington D.C. ( istana kepresidenan Amerika Serikat), dan yang paling anyar adalah sikap dan tindakan dari Presiden terpilih AS. Barack Hussein Obama yang telah mencatat sejarah baru bagi AS, dimana Barack Hussein Obama yang berasal dari ras campuran (mixed race) dari ayah muslim Kenya dan ibu kulit putih Kansas merupakan orang pertama ras campuran yang menjadi Presiden di negara adi kuasa itu. Begitu Obama dinyatakan menang, saingan (musuh)nya dalam Pemilihan Presiden AS yakni John Mc Cain langsung mengucapkan Selamat kepada Obama. Setelah dua minggu pemilihan tanggal 4 November 2008, tepatnya pada tanggal 18 November 2008 Obama mengadakan pertemuan dengan Mc Cain untuk membicarakan masalah transisi pemerintahan di AS, termasuk juga masalah-masalah lainnya. Keputusan politik lain dari Obama adalah dengan menempatkan Hillary Clinton (saingan kuatnya ketika ia menjadi calon Presiden di Partai Demokrat) untuk menduduki jabatan Menteri Luar Negeri, sedangkan tawaran Obama kepada Mc Cain untuk menduduki satu jabatan dalam kabinet Obama, ditolak Mc Cain dengan alasan usia (sudah tua)
Kenapa kita di Indonesia, terutama di daerah Bumi Gora ini yang 99 persen penduduknya adalah penganut agama Islam, tidak memiliki sikap dan pandangan seperti para pemimpin-pemimpin dunia itu, yang tidak melakukan dan memperpanjang permusuhan dengan mantan musuh kita dalam pemilihan (Pilkada) ?
Kapankah kita akan memiliki Pemimpin (Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) yang benar-benar merupakan Pemimpin Rakyat, berdiri di atas semua kepentingan rakyat, dan memberikan rasa keadilan kepada semua rakyatnya ?
Apakah ini merupakan indikasi atau gejala jual beli kepemimpinan di Indonesia yang kita cintai dan sayangi ini ? Kemungkinan besar ya, karena dalam sistem ekonomi jual beli, bila suatu barang telah dibeli oleh seseorang dari pemiliknya maka otomatis barang tersebut akan berpindah tangan menjadi hak milik si pembeli. Nah, dalam proses pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, sudah bukan merupakan rahasia umum lagi, bahwa sang calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, ketika masa pemilihan sudah mendekat, masing-masing calon akan memberikan sesuatu (biasanya mereka katakan sumbangan/bantuan) kepada masyarakat, baik individu maupun kelompok masyarakat, dalam bentuk barang atau uang. Ketika sang calon telah memberikan barang atau uang kepada masyarakat, mungkin saja mereka berfikir bahwa mereka (sang calon) telah membeli suara rakyat, sehingga ketika ia sudah terpilih dan menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tidak perlu lagi harus memperhatikan masyarakat, karena mereka mengganggap dirinya telah memberikan jasa (memberikan barang/uang) kepada rakyat, sehingga rakyat tidak perlu lagi didengar. Terserah apa saja yang mau dia lakukan, apa bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Indikasi kearah itu bisa saja, karena sekarang ini jarang kita dapati Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang sungguh-sungguh memperhatikan rakyatnya. Dalam Birokrasi pemerintahannya, sang Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, semau gue dan seenaknya saja menempatkan pejabat, sesuai dengan keinginannya, bukan didasarkan atas ketentuan aturan, konpetensi dan profesionalisme yang dimiliki oleh masing-masing pejabat. Kalau ia di kritik oleh berbagai pihak., dengan santai tanpa beban, ia akan mengemukakan alasan-alasan yang justru sebenarnya sangat tidak logis dan masuk akal. Akibat dari semua ini adalah bahwa Birokrasi Pemerintahan yang diterapkan di masa kepemimpinannya terutama dalam hal penempatan pejabat bersifat Otonom artinya penempatan pejabat didasarkan atas kehendak dan kemauan Kepala Daerah/Wakil Kepala itu sendiri tanpa mempertimbangkan ketentuan dan kaedah-kaedah Hukum Kepegawaian yang ada. Padahal dalam aturan Kepegawaian ( PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural dan Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002) jelas-jelas telah diatur tentang Syarat-syarat pengangangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari Jabatan Struktural.
Keadaan birokrasi pemerintahan sebagaimana digambarkan diatas, oleh Paulus Mujiran (2004) dikatakan sebagai birokrasi yang dibentuk dan dibangun atas dasar jalinan hubungan patron client (jalinan hubungan antara kawula dengan gusti, atau jalinan hubungan antara majikan dengan kacung/jongos).
Lebih jauh Paulus Mujiran mengatakan : “birokrasi di Indonesia telah kehilangan ruh birokrasi yang dirancang Weber. ...........Weber menghendaki birokrasi sebagai sebuah organisasi yang memiliki otoritas legal-rasional. Yakni sebuah organisasi yang berdiri di atas sebuah aturan yang jelas dan bersifat impersonal. Dengan begitu birokrasi menjadi sangat efektif dan efisien karena adanya pemisahan yang jelas, tegas dan sistematis antara apa yang bersifat pribadi dengan apa yang bersifat birokratis, sehingga perasaan, emosi hubungan sosial personal dan kepentingan pribadi tidak ikut bermain dalam organisasi birokrasi.”
Dari pemaparan di atas, apakah birokrasi seperti yang di inginkan Max Weber tersebut telah terewujud di negara kita tercinta ini ? Suatu pertanyaan yang sulit terjawab. Berbekal pengetahuan yang dimiliki dan diperoleh melalui berbagai sumber literatur ditambah dengan meliaht realita yang ada dan terjadi di negeri kita tercinta ini, maka birokrasi di negeri kita ini masih sangat jauh dari harapan Weber. Salah satu bukti hal ini adalah adanya krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah (birokrasi pemerintah) di negeri kita ini.
Ustad Yusuf Mansur, dalam bukunya “ Membumikan Rahmat Allah” (2007) mengatakan : “Kepercayaan di negeri ini sudah hampir tidak ada, bila tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali. Krisis kepercayaan terjadi seiring dengan menghilangnya kejujuran di hati banyak individu bangsa terutama terhadap –dan di- kalangan pemimpin. Lantaran krisis kepercayaa sudah demikian parah, hampir sebagian besar masyarakat, utamanya masyarakat kecil memasabodohkan siapa yang bakal memimpin mereka. Bagi mereka, siapapun yang akan memimpin bangsa ini akan sama saja! Mereka sudah tidak percaya lagi akan kefitrian liudah dan hati para pemimpin dan bahkan para calon pemimpin yang ‘sedang berpentas’ Rakyat sudah tidak lagi mau percaya dengan aparat penegak hukum dan sudah tidak percaya dengan ‘baju’ kepemerintahan yang ada. Bahkan mau tidak mau, krisis kepercayaan juga berimbas terhadap kalangan pemuka agama. Ummat tidak percaya karena sering terjadi ketidaksesuaian antara nasihat dan tindakan, antara ucapan dan perbuatan. Ummat sering merasa dibodohi dengan tindakan pengkultusan dan kemewahan yang dipertontonkan. Ummat sering merasa keberpihakan kalangan pemuka agama adalah kepada keharuman nama, kekuasaan dan harta. Bukan kepada kemaslahatan ummatnya” demikian ungkap Ust. Yusuf Mansyur.
Berbagai kritikan keras dan pedas disertai argumen meyakinkan dikemukakan oleh Ustad yang sudah cukup banyak menulis buku berbau agama (islam) ini. Sampai-sampai tidak lupa beliau mohon maaf kepada komponen bangsa yang merasa tersinggung dengan ucapan dan tulisannya. Lengkapnya permohonan maaf beliau yang tertulis dalam buku yang disebutkan diatas berbunyi:
“Mohon maaf kepada para pemimpin, para penguasa, para pejabat yang “masih bersih”, yang lidahnya memang sesuai dengan nurani dan perbuatannya. Mohon maaf kepada garda bangsa yang memiliki kesucian niat membela ntanah air. Mohon maaf kepada para kiyai, para ustadz, para pendeta, dan para pemuka agama lainnya ; saya percaya masih terlalu banyak yang masih menjaga prinsip hidupo dan kehidupan keilahian. Anda semua sebaiknya jangan tersinggung. Karena bila Anda tersinggung boleh jadi kefitrian Anda akan dipertanyakan ulang .... Yang menjaga Anda adalah bukan “pembelaan” suara Anda. Yang melindungi Anda dari fitrah adalah bukan “tindakan panik” Anda yang buru-buru menyanggah setiap tuduhan. Tetapi nurani yang akan melindungi Anda, didukung Tuhan dan para malaikat-Nya..........”

Sampai kapan hal sebagaimana yang dikemukakan di atas ini akan berlangsung.? Sampai dengan para pemimpin kita menyadari dirinya bahwa ia adalah Pemimpin masyarakat banyak, bukan pemimpin kelompok atau golongan tertentu saja, yang akan diminta pertanggung jawabannya, ........... dunia..............akherat................


Mataram, 22 Desember 2008.


Penulis adalah
Pemerhati masalah Sosial Kemasyarakatan
Nusa Tenggara Barat.
MEMBUKA TABIR VISI & MISSI CALON KEPALA DAERAH
( Lombok Timur Mau di Mekarkan ? )
Oleh
DR. H. Musa Shofiandy,MM.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Selasa tanggal 22 Januari 2008, saya membaca koran harian NTB Post, pada halaman 4 saya temukan ulasan saudara Eslah El Wathon, salah seorang pengamat politik di Lombok Timur berkaitan dengan Visi dan Misi salah seorang Bakal Calon Bupati Lombok Timur periode 2008-2013. Dalam ulasan itu dikemukakan bahwa salah satu misi yang akan dilakukan oleh Bakal Calon Bupati Lombok Timur bila nantinya ia terpilih menjadi Bupati Lombok Timur adalah melakukan pemekaran Kabupaten Lombok Timur menjadi 3 (tiga) Kabupaten yakni Kabupaten Lombok Timur Bagian Tengah, Kabupaten Lombok Timur Bagian Utara dan Kabupaten Lombok Timur Bagian Selatan. Ide pemikiran yang disampaikan oleh sang Bakal Calon Bupati itu tentunya akan banyak menimbulkan pro dan kontra,tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi saya sebagai salah seorang putra Lombok Timur yang kebetulan terlahir di daerah Lombok Timur Bagian Selatan, disatu sisi pemikiran untuk memekarkan Kabupaten Lombok Timur itu dapat dibenarkan bila dilihat dari sudut pandang keterbelakangan kemajuan Lombok Timur Bagian Selatan dan Lombok Timur Bagian Utara. Adalah wajar pemikiran seperti itu akan muncul karena selama ini kebijakan pembangunan dan perhatian yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sejak diikrarkan terbentuknya Kabupaten Lombok Timur, tidak sepadan dengan kebijakan dan perhatian yang diberikan kepada daerah Lombok Timur bagian tengah yang meliputi beberapa kecamatan yakni Kecamatan Selong, Labuhan Haji, Masbagik, Sikur dan Terara. Akibatnya daerah dan masyarakat Lombok Timur bagian Selatan dan bagian utara mengalami keterbelakangan dalam segala asfek kemajuan. Salah sati contoh riel saat ini adalah dibidang pendidikan. Keberadaan SMAN 1 Jerowaru sebagai tempat untuk mencetak kader-kader daerah Lombok Selatan guna peningkatan kemampuan, kuantitas dan kualitas sumber daya manusia Lombok Timut Bagian Selatan pada tingkat pendidikan menengah atas, hanya memiliki tenaga pendidik (guru) yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, Cuma 5 (lima) orang dan beberapa tenaga (guru) bantu, tidak sama dengan SMAN lain yang ada dibagian Tengah. Dengan keadaan seperti ini, apakah iya... akan dapat menghasilkan insan-insan yang berkualitas ? Inilah salah satu sekali lagi salah satu penyebab timbulnya pemikiran masyarakat Lombok Timur bagian selatan untuk memisahkan diri dengan Kabupaten induk, dan pemikiran seperti ini tidak hanya ada dalam diri pribadi sang Bakal Calon Bupati, tapi juga pemikiran sebagian masyarakat Lombok Timur bagian selatan, termasuk diri saya pribadi sebagai orang Lombok Timur bagian selatan. Saya juga tidak tau pasti kenapa para pemimpin yang sudah dan sedang berkuasa di Lombok Timur tidak berfikir general, berfikir masyarakat Lombok Timur secara menyeluruh sehingga segala kebijakan pembangunan yang dilakukan dan perhatian yang diberikan tidak sepihak saja. Sama halnya seperti sekarang, kenapa justru Pemerintah Daerah ingin membentuk Kota Selong, kenapa pula pembangunan Dermaga Labuhan Haji, lebih didahulukan dari pada pembangunan Dam Pandan Duri yang justru akan membawa kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat di beberapa kecamatan bagian selatan Lombok Timur ? padahal di Lombok selatan ada juga pelabuhan Telong Elong, Kenapa jusru Pemerintah Provinsi NTB yang lebih tanggap untuk membangun dermaga Telong-elong ?, dengan telah diresmikannya penggunaan pelabuhan Telong Elong dengan ditandai dengan uji coba pelayaran (sea trial) kapal KSB Ekspres di Pelabuhan Telong Elong Kecamatan Jeruwaru Lombok Timur bagian selatan oleh Gubernur NTB. Drs. HL.Serinata pada hari Selasa tanggal 22 Januari 2008 lalu. Ini berarti bahwa pelabuhan Telong Elong memiliki prosfek yang cukup cerah untuk dikembangkan menjadi pelabuhan untuk kelancaran pelayaran perhubungan transportasi laut, baik untuk penumpang maupun barang. Dengan dibukanya pelayaran ini akan membawa dampak yang amat besar bagi pengembangan kemajuan Lombok Timur bagian selatan. Dalam bidang pembangunan prasarana misalnya, gebrakan pembangunan yang dilakukan oleh Bupati Lombok Timur M Ali BD. selama masa kepemimpinannya cukup memberikan makna dan manfaat bagi masyarakat, tapi kalau kita lihat secara kasat mata dari segi pemerataan, pembangunan itu lebih banyak dilakukan di daerah Lombok Timur bagian tengan. Misalnya pembangunan pasar dan terminal di Pancor, Masbagik,Selong, Aikmel dan dibeberapa tempat lainnya, sementara di bagian selatan, apakah pasar yang ada di bagian selatan seperti pasar Sakra, pasar Rensing di Kecamatan Sakra Barat, pasar Keruak di Kecamatan Keruak, pasar Jor di Kecamatan Jeruwaru, apakah pernah disentuh ? kenapa dan kenapa ? dan masih banyak tanda tanya lainnya yang belum bisa saya dapatkan jawabannya. Namun atas berbagai tanda tanya ini, dari Pemerintah Daerah Lombok Timur tentunya sudah pasti memiliki dasar pemikiran dan alasan alasan untuk menganulir berbagai pertanyaan itu, walaupun alasan dan pemikiran yang dijadikan landasan pijakan itu hanya dapat dibenarkan pihak-pihak yang diuntungkan. Wallahu A’lam Bissawab, karena di zaman modern sekarang ini masing-masing individu telah memiliki kemampuan dan kecerdasan untuk mendapatkan kata-kata pembenar atas argumentasinya, walaupun sebenarnya kata-kata pembenar itu dalam kenyataan teoritis dan realita yang sebenarnya adalah tidak benar.
Kembali ke pokok pembahasan dalam tulisan ini, yakni masalah Visi dan Missi Bakal Calon Bupati Lombok Timur yang akan memekarkan (memecah) Kabupaten Lombok Timur menjadi 3 (tiga) Kabupaten, dengan alasan dan pemikiran-pemikiran yang disampaikan di atas, pada dasarnya dapat saja dibenarkan, tapi Apakah tidak ada cara lain untuk mengatasi berbagai ketimpangan dan keterbelakangan Lombok Timur bagian Selatan dan Lombok Timur bagian Utara ?
Walaupun saya sendiri sebagai warga masyarakat Lombok Timur bagian selatan yang merasakan adanya perbedaan perhatian dan kebijakan yang diberikan Pemerintah terhadap masyarakat Lombok Timur bagian selatan, pada awalnya juga punya pemikiran untuk mendirikan Kabupaten Lombok Selatan (pemekaran dari Kabupaten Lombok Timur), namun setelah memikirkan dampak yang lebih luas, berfikir masyarakat Lombok Timur secara menyeluruh, pemecahan atau pemekaran Kabupaten Lombok Timur itu, bukan satu-satunya jalan untuk dapat menselaraskan kemajuan antara Lombok Timur bagian selatan, tengah dan bagian utara, masih ada cara lain yang bisa dilakukan oleh seorang Bupati di Lombok Timur.
Menurut pemikiran dan analisis penulis, ada beberapa cara dan langkah yang seharusnya dilakukan oleh Bupati Lombok Timur agar masyarakat Lombok Timur secara menyeluruh merasakan adanya kesamaan perlakuan dan perhatian dari Pemerintah Daerah, yakni :

Melakukan Reformasi Birokrasi.
Dalam melakukan Reformasi Birokrasi, banyak item yang melingkari kebijakan untuk melakukan Reformasi Birokrasi itu. Secara umum di negara kita tercinta ini, Reformasi Birokrasi sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup penguatan masyarakat sipil (civil society), supermasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini. Kaitan dengan reformasi birokrasi ini, Didin S.Damanhuri (2006;12) mengatakan ; Kita harus akui bahwa peralihan dari sistem otoritarian ke sistem demokratik (konsolidasi demokrasi) dewasa ini merupakan periode yang amat sulit bagi proses reformasi birokrasi. Apalagi, kalau dikaitkan dengan kualitas birokrasi pemerintahan maupun realisasi otonomi daerah, serta maha sulitnya pengurangan sistematis korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada birokrasi pemerintahan yang diperkirakan semakin sistematik dan merata ke daerah-daerah.
Dalam hal reformasi birokrasi ini, dalam tulisan ini, penulis akan lebih menekankan pada penataan para pejabat di birokrasi pemerintahan yang bertindak selaku perencana dan pelaksana segala macam dan bentuk kebijakan pemerintah daerah dan selaku pelayan masyarakat (public servant) yang harus benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat dan berkeadilan serta dijalankan secara nondiskriminatif, transparan, obyektif dan tegas.
Kaitan dengan hal ini lebih jauh Didin S.Damanhuri (2006;13) mengatakan : Soal penataan jabatan, mungkin pakem pejabat karier harus direvisi, katakan saja dengan kriteria kejujuran dan profesionalisme ketimbang mengangkat pejabat karier yang selama ini sudah terjebak dalam sistem KKN Orde Baru. Fit and proper test untuk pengangkatan para pejabat tampaknya harus digeser secara signifikan kepada proses hukum.
Reformasi birokrasi tidak seharusnya hanya diletakkan pada isu-isu yang cendrung sekadar bersifat teknis administratif seperti kenaikan gaji pegawai, penataan jabatan dan rasionalisasi atau pengurangan jumlah pegawai negeri sipil semata, karena hal-hal seperti ini agak sulit dilakukan dan tidak akan dapat menjamin terciptanya pegawai negeri sipil yang betul-betul memiliki sikap mental dan rasa pengabdian yang ikhlas dan tulus kepada kepentingan masyarakat banyak, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan atau kelompoknya saja.
Realita yang ada dan kita lihat dengan bukti-bukti riel saat ini bahwa dana-dana yang disediakan untuk keperluan berbagai bentuk kegiatan pembangunan tidak sepenuhnya digunakan untuk mewujudkan pembangunan tersebut, tapi masih ada upaya dari beberapa oknum pejabat dan pegawai negeri sipil perencana dan pengelola serta pelaksana program pembangunan itu yang ambil bagian dengan berbagai alasan, dan keadaan ini terjadi diseluruh daerah. Penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan ini telah membumi di negara kita ini karena telah terjadi sejak lama, dimulai pada saat Menteri Ekonomi pada saat pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo zaman Presiden Soekarno, dipegang oleh Iskak Tjokroadisuryo, yakni berupa pemberian lisensi impor dari “Politik Benteng” dengan tak memberikannya kepada pengusaha pribumi yang kompeten, tapi diberikan kepada konco-konconya dan kemudian lisensi tersebut dijual kepada pengusaha keturunan Cina, sehingga dikenal istilah “pengusaha Ali Baba” Dari sinilah praktek-praktek KKN itu mulai berkembang, hingga zaman Reformasi sekarang inipun praktek-praktek seperti itu sulit diberantas tuntas walaupun slogan Pemerintah mengatakan dengan tegas bahwa praktek-praktek KKN harus diberantas tuntas. Kenyataannya ? Kita lihat sendiri. Dengan realita ini, pantaslah kalau Paulus Mujiran (2004;39) mengatakan : “Penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini sudah sampai pada taraf memperhatinkan. Penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini sangat parah. Kekuasaan bukan lagi sebagai media pelayanan kepada masyarakat, melainkan ajang untuk memperkaya diri, praktek korupsi merajalela di mana-mana......... Praktek korupsi yang semakin parah dan terdesentralisasi menempatkan kita dikenal sebagai republik para maling. Dengan sangat telanjang, kekuasaan dipakai sebagai ajang mempertebal pundi-pundi secara membabi buta. Ironisnya, praktek itu dikemas dalam wadah seolah-olah demokrasi. Disahkan melalui rapat paripurna, ada undang-undang atau perdanya, dan dipublikasikan agar rakyat tahu. Demikian pernyataan yang dilontarkan Paulus Mujiran. Sungguh tragis dan sangat menyakitkan memang, apa yang diungkap Paulus Mujiran, dan kita akan lebih ngeri lagi kalau kita membaca tuntas isi buku dari Paulus Mujiran yang berjudul Republik Para Maling itu. Kalau seandainya apa yang di ulas dan dibahas dalam buku itu tidak benar, kenapa buku itu dibiarkan beredar luas oleh Pemerintah?
Inilah permasalahan yang harus dihadapi oleh para pemimpin dan para calon pemimpin, jika saja apa yang selama ini didengungkan oleh para calon pemimpin dalam kampanye terselubung dan kampanye benaran, bahwa mereka ingin memperbaiiki tingkat kesejahteraan masyarakat, ingin memajukan masyarakat dan daerah, maka ia harus berani untuk menghadapi tantangan keadaan yang sudah membumi ini. Untuk itu kepada masyarakat dan kita semua, mari kita catat dan kita patri dalam hati dan kita bukukan dengan rapi dalam catatan dengan tinta merah, segala semboyan dan sesumbar para calon pemimpin kita itu, bila perlu kita harus membuat kontrak politik moral dengan para kandidat, apa benar nantinya setelah terpilih, akan memenuhi dan mentaati kata dan ucapan yang telah diucapkan selama kampanye itu. Sudah seharusnya kita membuat komitmen moral dengan para calon pemimpin kita. Wibowo (2006;60) mengatakan : “Suatu komitmen memiliki keberadaan yang penting, namun perlu dijaga agar jangan sampai terjebak oleh komitmen tersebut”
Melihat sistem pemerintahan kita saat ini, dimana setiap calon pemimpin (Kepala daerah) harus menyiapkan dana yang cukup besar untuk bisa ikut bertarung dalam Pilkada, penulis sendiri masih ragu terhadap apa yang dijanjikan para calon pemimpin (Kepala Daerah) itu. Argumentasi yang mendasari pemikiran penulis atas keraguan ini, secara kasat mata dapat dikemukakan sebagai berikut :
Untuk menjadi seorang Kepala Daerah (Bupati/Walikota misalnya, harus memiliki dana minimal 15 (lima belas milyard) rupiah. Kalau gaji dan pendapatan seorang Bupati/Walikota, taruhlah misalnya 200 juta rupiah setiap bulannya, maka dalam satu tahun ia akan memperoleh pendapatan sejumlah 2,4 milyard rupiah, dan selama masa kepemimpinannya 5 (lima) tahun ia akan memperoleh pendapatan sebesar 12 milyard rupiah, sisa kurang sebesar 3 (tiga) milyard rupiah. Ikhlaskah seorang Calon Bupati/Walikota dengan keadaan ini ? Atau kalau sang Bupati/Walikota terpilih tidak mau memperhitungkan out came yang telah dikeluarkan selama proses Pilkada, apakah betul ia ikhlas untuk tidak memperhitungkan semua dana yang dikeluarkan ? Kalau saja ia benar-benar ikhlas berkorban untuk kepentingan masyarakat banyak, kenapa harus dengan cara atau melalui Pilkada ? kenapa tidak disumbangkan saja dana sebesar itu secara ikhlas tanpa harus menjadi seorang Bupati/Walikota, atau dana sebesar untuk dana Pilkada itu disimpan atau di depositokan di Bank Pemerintah kemudian hasilnya setiap bulan dijadikan amal sadakah untuk kemaslahatan ummat (masyarakat banyak). Cara ini akan lebih bijak dan dihargai oleh masyarakat banyak. Kayaknya sangat sulit untuk kita jumpai orang yang seperti ini.
Dengan analisis argumentasi seperti di atas ini, maka untuk bisa mewujudkan terpilihnya pemimpin (Kepala Daerah) yang betul-betul peduli dengan masyarakat banyak yang telah mengantarkannya menjadi seorang pemimpin, masyarakat harus benar-benar jeli memanfaatkan mata, telinga dan hatinya dalam menilai dan kemudian memilih orang yang akan menjadi pemimpinnya di daerah, sebab bagaimanapun juga kalau rakyat sendiri salah memilih pemimpin sehingga menghasilkan pemimpin yang tidak amanah, akibatnya juga masyarakat yang akan merasakannya, bahkan sebagai ummat beragama, khususnya masyarakat Lombok Timur yang boleh dikatakan 99 persen pemeluk Islam yang taat, akan ikut menanggung dosa bila memilih pemimpin yang tidak amanah.
Untuk menanamkan pemahaman dan pengertian di hati masyarakat tentang berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pesta demokrasi ini, maka sudah seharusnya kepada masyarakat luas diberikan pemahaman dan pendidikan politik, agar masyarakat dapat memahami permainan politik, dan tidak menjadi korban politik.
Kaitan dengan hal ini pulalah seorang Pegawai Negeri Sipil sebagai pelayan masyarakat dan lebih-lebih sebagai anggota masyarakat dalam masyarakat, agar tidak terjebak dalam permainan politik yang menyesatkan.
Untuk itu pula, makai, maka faktor utama yang harus dilakukan oleh pemimpin daerah (Kepala Daerah) adalah melakukan pembenahan yang serius dalam bidang birokrasi pemerintahan, terutama dalam hal pembinaan moral dan etika para Pegawai Negeri Sipil yang menjadi bawahannya agar mereka benar-benar menjadi abdi negara dan abdi masyarakat yang dapat dijadikan contoh tauladan oleh masyarakat luas, minimal dalam lingkungan keluarga dan pergaulan kemasyarakatan. Sekaligus juga agar para birokrat sebagai perencana, pengelola dan pelaksana berbagai kegiatan pemerintahan pembangunan di daerah, agar dapat mengubah etos kerja mereka dari bekerja rutin menjadi kerja untuk ibadah. Kalau itu tidak dibenahi, para pejabat tidak bersih, tidak memiliki etika moral yang baik, tulus dan ikhlas mengabdi untuk kepentingan masyarakat banyak, adalah mustahil segala program kegiatan pemerintahan dan pembangunan itu akan berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat.

Penerapan Azas Pemerataan.
Pemerataan disini dimaksudkan adalah pemerataan disemua segi kehidupan masyarakat seperti pemerataan perhatian pemerintah terhadap nasib rakyatnya, pemerataan alokasi dana dan pelaksanaan pembangunan, pemerataan dalam kesempatan memperoleh pendidikan, pemerataan pendapatan, pemerataan untuk mendapatkan atau untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dan berbagai bentuk pemerataan lainnya yang menyangkut kepentingsn masyarakat banyak. Kalau saja seorang pemimpin benar-benar memiliki hati dan jiwa yang menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat, maka ia pasti akan memperhatikan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pemikiran penulis sendiri (mudah-mudahan ini juga bisa diterima orang lain) simpel saja kita berfikir dan berbuat dalam kerangka proses pemerataan ini. Misalnya saja dalam hal pemerataan alokasi dana dan pelaksanaan pembangunan untuk rakyat. Misalnya saja dalam satu Kabupaten/Kota memiliki ketersediaan dana yang akan dialokasikan untuk pembangunan masyarakat berjumlah 100 Milyard. Dana tersebut dibagin dua, separuhnya (50 %) atau sejumlah 50 Milyar, dialokasikan untuk pembangunan yang bersifat urgen di tingkat Kabupaten/Kota dan separuhnya (50 %) dari dana tersebut atau sebesar 50 Milyard dibagi secara merata disemua Kecamatan yang ada di Kabupaten/Kota. Misalnya untuk Lombok Timur terdapat sejumlah 20 Kecamatan. Dana sebesar 50 Milyard itu dibagi untuk 20 Kecamatan sehingga masing-masing Kecamatan memperoleh dana sebesar 2,5 Milyard. Nah dana sebesar 2,5 Milyar di masing-masing Kecamatan itu dimanfaatkan untuk membangun sarana dan prasarana yang ada di masing-masing wilayah Kecamatan dengan melihat tingkat urgensi dan prioritas kebutuhan masyarakat yang ada diwilayah Kecamatan masing-masing. Kalau saja itu dilakukan, maka masyarakat secara keseluruhan dan merata akan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan. Demikian juga halnya dalam bidang pemerataan pendidikan. Disini harus diartikan dalam skala luas, dalam arti tidak saja berupa pemerataan penyediaan sarana bangunan gedung, tapi juga meliputi ketersediaan tenaga pendidik (guru). Jangan sampai terjadi seperti sekarang ini, dimana satu-satunya sarana pendidikan (SMAN) yang ada di Kecamatan Jeruwaru Lombok Timur bagian selatan hanya memiliki beberapa gelintir tenaga pendidik (guru) yang berstatus pegawai negeri sipil, selebihnya adalah tenaga guru bantu/guru kontrak, bagaimana akan bisa menghasilkan manusia terdidik yang berkualitas, sementara di daerah-daerah lain dibagian tengah terutama didaerah perkotaan memiliki tenaga yang cukup sesuai kebutuhan. Makanya kita tidak perlu heran kalau kualitas sumberdaya manusia di daerah selatan atau dibagian utara tidak sama dengan daerah bagian tengah. Dilain pihak, salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi menurut teori Maslow adalah kebutuhan akan keamanan. Faktor ini memang sangat perlu, karena bagaimanapun juga tiap individu masyarakat tanpa melihat status sosial yang disandangnya, pasti memerlukan keterjaminan akan keamanan mereka, bagaimana masyarakat akan dapat menikmati hidup dengan tenang dan aman kalau keamanan mereka tidak terjamin. Memang di negara kita ini ada aparat keamanan yang memang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga keamanan masyarakat, tapi bukti riel memperlihatkan dengan keterbatasan jumlah personil aparat keamanan pemerintah, maka tingkat keamanan masyarakat, khususnya di Lombok Timur tetap saja menjadi momok yang menghawatirkan. Untuk membantu aparat keamanan ini, terutama di Lombok Timur terdapat sejumlah Pamswakarsa seperti Amphibi, Elang Merah, Hisbullah, Hamzanwadi, Merpati Putih dan beberapa Pamswakarsa lainnya. Keberadaan Pamswakarsa ini sebenarnya akan sangat membantu Pemerintah untuk mengatasi kerawanan di Daerah Lombok Timur, kalau saja Pemerintah Daerah secara serius dan kontinyu melakukan pembinaan kepada semua Pamswakarsa ini, misalnya dengan memberikan bantuan operasional, apalagi sampai Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan kendaraan operasional yang akan dijadikan sarana untuk melakukan operasionalisasi lapangan. Atau yang lebih efektif adalah dengan mengaktifkan dan memfungsikan keberadaan Polisi Pamong Praja ditingkat Kecamatan yakni dengan menambah jumlah personil Pol PP di wilayah Kecamatan menjadi 8 atau 10 orang di masing-masing Kecamatan yang akan bertugas siang dan malam hari. Tenaga ini bisa diambilkan dari pegawai negeri sipil yang ada di pemerintah Kabupaten/Kota yang ada saat ini. Kita maklum bahwa keberadaan pegawai negeri sipil saat ini belum optimal, lebih banyak pegawai dari pekerjaan yang akan dilakukan, akibatnya kerja tidak efektif, pegawai lebih banyak nganggurnya daripada kerja. Untuk lebih mengoptimalkan kerja mereka dan dapat berdampak langsung terhadap masyarakat, sebaiknya tenaga-tenaga tersebut disebar ke wilayah Kecamatan untuk memperkuat pemerintah Kecamatan terutama dalam penanganan masalah keamanan. Pol PP yang ada di Kecamatan inilah yang ditugaskan untuk mengkkoordinir Pamswakarsa yang ada guna membantu penanganan keamanan masyarakat. Keberadaan mereka harus disertai dengan pengadaan sarana dan prasarana seperti kendaraan opererasional yang akan digunakan patroli setiap tugas siang atau malam, peswat HT, dan kelengkapan lainnya. Daripada mengganti kendaraan pejabat yang masih bagus, kan lebih baik dana itu digunakan untuk pengadaan kendaraan opererasional Pol PP di Kecamatan, karena dampak dari pengadaan kendaraan dinas untuk keamanan itu akan secara langsung dilihat dan dinikmati oleh masyarakat. Kami yakin, jika hal ini dilakukan, Insya Allah tingkat kerawanan keamanan masyarakat akan dapat teratasi.
Dilain pihak, agar seorang pemimpin dikenal dan disayang masyarakat, tidak ada salahnya kalau sang pemimpin membuat jadwal rutin kunjungan ke masing-masing wilayah Kecamatan atau Desa. Melihat jumlah Desa/Kelurahan yang ada di Kabupaten Lombok Timur yakni 119 Desa/Kelurahan, maka dalam satu tahun saja minimal satu kali Bupati bisa berkunjung ke semua Desa/Kelurahan yang ada di Lombok Timur. Kenyataan yang kita lihat selama ini, selama kepemimpinannya di Lombok Timur masih ada Desa yang tidak pernah dikunjungi bahkan masih banyak warga masyarakat yang tidak pernah melihat dan bertatap muka langsung dengan Bupatinya. Ini tidak hanya terjadi di saat kepemimpinan Bupati Ali BD, tapi juga terjadi pada saat kepemimpinan Bupati Bupati sebelumnya. Ada pepatah lama mengatakan “Jangan mengharap kalau tidak mau memberi” makanya seorang pemimpin rakyat, jangan mengharapkan simpati dan dicintai rakyatnya kalau saja tidak mencintai rakyat, dan salah satu bentuk atau perwujudan kasih sayang dan rasa cinta itu adalah dengan mengunjungi mereka, bertatap muka dengan mereka. Dengan cara ini sekaligus akan memberikan nilai tambah bagi sang pemimpin, artinya dengan seringnya mendatangi dan mengunjungi masyarakat, maka akan tau ralita keadaan masyarakat yang sebenarnya, tau kebutuhan masyarakat, sehingga dengan bekal ini dapat dijadikan dasar dalam menyusun program-program pembangunan daerah.

Akhirnya, penulis sangat setuju dengan ungkapan saudara HM Ainul Asikin dalam tulisannya d harian Lombok Post hari Sabtu tanggal 26 Januari 2008. yang mempertanyakan apakah para calon Gubernur NTB yang “Merasa Bisa” mengemban amanah, dapat pula “ Bisa Merasa” , apakah sesungguhnya yang diharapkan dan tidak diharapkan oleh sebagian terbesar warga masyarakat? Pertanyaan semacam ini juga tentunya untuk para calon atau bakal calon Kepala Daerah (Bupati) Lombok Timur. Untuk itu kepada kita semua masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara Barat dan khusus kepada masyarkat Gumi Selaparang Lombok Timur, mari dengan jernih kita gunakan telinga dan mata hati kita untuk menilai secara jujur dan benar setiap gerak langkah para kandidat calon pemimpin kita, agar kita tidak salah dan keliru dalam memilih pemimpin, agar kita juga tidak berdosa atas pilihan yang telah kita lakukan. Wallahua’lam Bissawab.


Mataram, 28 November 2008.


DR.H.MUSA SHOFIANDY.MM.
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan

MENCARI PEMIMPIN YANG BENAR DIBAWAH TEKANAN POLITIK JUAL BELI

MENCARI PEMIMPIN YANG BENAR
DIBAWAH TEKANAN POLITIK JUAL BELI

( oleh : H. Musa Shofiandy )

Pilkada Gubernur Nusa Tenggara Barat masa bhakti 2008-2013 masih setahun lebih, namun sejak akhir 2006 lalu kita sudah mulai mendengar dan melihat berbagai gerakan individu maupun kelompok di Bumi Gora ini yang mulai meperbincangkan Pilkada Gubernur tersebut, dan kita, serta siapapun juga tidak memiliki hak dan kewenangan untuk mencegah hal ini.
Bila hal ini dilihat dari sudut pandang ilmiah dan ekuitas politik, upaya tersebut sangat dapat dibenarkan, karena jauh sebelumnya telah dilakukan upaya-upaya untuk mempersiapkan terjaringnya calon-calon pemimpin Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini, yang betul-betul dapat dihandalkan kemampuannya memenej pemerintahan yang baik dan benar di atas kepentingan masyarakat Nusa Tenggara Barat secara keseluruhan.
Di awal tahun 2007 ini, pembicaraan yang terfokus kepada Suksesi Gubernur Bumi Gora 2008 sudah tidak lagi dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi. Berbagai cara dilakukan baik oleh orang perorang maupun kelomnpok organisasi politik dan kemasyarakatan yang menjurus kearah figur pemimpin (Gubernur) Nusa Tenggara Barat mendatang.
Dari perorangan, bahkan tidak tanggung-tanggung beberapa person individu telah secara terang-terangan menyatakan kesiapannya untuk menjadi Calon Pemimpin (Gubernur) NTB. masa bhakti 2008-2013, demikian juga dari beberapa organisasi politik telah mengeluarkan keputusan politiknya untuk mencalonkan jagonya menjadi Gubernur Bumi Gora masa bhakti 2008-2013.
Melihat fenomena ini, tersirat sekelumit pertanyaan dalam benak hati kami yang masih awam ini,( maaf kami tidak menggurui dan tidak pula meremehkan kemampuan teman-teman yang mau menjadi Gubernur, Bupati/Walikota, ilustrasi ini dimaksudkan hanya sebagai renungan kita bersama agar pemimpin (Gubernur) NTB. 2008-2013 betul-betul Gubernur pemegang amanah yang bertanggung jawab dunia akherat), apakah orang-orang atau kelompok orang (organisasi politik dan kemasyarakatan) yang telah memunculkan dirinya dan atau dimunculkan itu telah melakukan upaya-upaya pematangan dirinya untuk tampil menjadi seorang pemimpin yang akan bertanggung jawab terhadap lebih kurang empat juta masyarakat Nusa Tenggara Barat ? Upaya pematangan diri itu antara lain misalnya bagi yang menganut agama Islam, ada sholat Istiharah memohon petunjuk dari Allah Sang Pencipta atau upaya lainnya seperti memperbanyak pengetahuan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepemimpinan karena seorang pemimpin adalah juga pemegang amanah. Dalam Qur,an Surat Al-Anfal (8):27) Allah berfirman : “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kami mengetahui” Dalam salah satu Sunnah Rasul (Muhammad.SAW) yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dikatakan bahwa dalam salah satu pertemuan Nabi Muhammad SAW. Bersadba : “Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kedatangan hari kiamat. Bagaimana amanah disia-iakan, tanya salah seorang peserta pertemuan. Rasulullah menjawab : “:Jika urusan telah dierahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”.
Atas dasar ajaran ini, maka Imam Umar Bin Khathab, menggambarkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin, dengan sebuah ungkapan :
“Saya senang jika dapat keluar dari dunia ini ( dunia kepemimpinan ) dengan impas, tidak mendapat pahala dan tidak mendapat dosa”. Menjelang akhir hayatnya khalifah Umar Bin Khathab mewasiatkan kepada khalifah sesudahnya, beberapa wasiat, satu diantaranya mengatakan : “ Tunggangilah kebenaran dan ceburkan dirimu dalam kesusahpayahan menuju kebenaran. Jadilah engkau penasehat bagi dirimu sendiri”.
Berangkat dari beberapa ajaran dan petuah ini, maka langkah awal yang harus dilakukan oleh siapa saja, terutama oleh individu-individu yang berkeinginan untuk menjadi Pemimpin adalah mengintrofeksi diri dengan jeli, baik dan benar tanpa ada kata pembenar yang sebenarnya tidak benar.
Suatu ketika di awal Februari 2007 ini, kami pernah diskusi dengan salah seorang pemuka agama (Islam) di Jawa, beliau mengatakan : Pak Musa, saat ini pemimpin yang dicari, bukan semata-mata karena ia pintar, tapi yang paling utama adalah “pemimpin yang benar” sebab seorang pemimpin yang pintar belum tentu ia bisa bertindak benar, ungkapnya.
Berbicara pemimpin yang benar, kita merasa sedikit mendapat angin (mudah-mudahan angin segar), bahwa salah satu partai politik di Bumi Gora ini memunculkan Calon Gubernur dari kalangan pemuka agama, dan mudah-mudahan pemunculan ini melalui proses panjang hasil dari pemikiran jernih dengan berbagai pertimbangan. Kami menuliskan kata-kata “mudah-mudahan angin segar” di atas ini dalam tanda kurung, karena dengan pemunculan tokoh agama tersebut muncul pula berbagai firasat pemikiran yang mudah-mudahan juga menjadi bahan analisis bagi sang calon.
Ketika issu tentang akan dimunculkannya calon Gubernur dari tokoh agama, salah seorang Tuan Guru di Lombok mengatakan : Saya bukan tidak setuju Tokoh Agama menjadi Gubernur atau Bupati/Walikota, Cuma saya sangat sayangkan, karena untuk menjadi Gubernur, Bupati/Walikota tidak sesulit menjadi Ulama (Tuan Guru)” Kalau mau jadi Gubernur, Bupati/Walikota tidak perlu makan waktu lama, tapi kalau untuk menjadi Ulama (Tuan Guru) butuh puluhan tahun, itupun belum tentu diakui masyarakat banyak. Kalau sudah menjadi Gubernur atau Bupati/Walikota, mau tidak mau yang bersangkutan sudah masuk dalam arena politik yang dalam kenyataannya saat ini politik itu penuh ketidak pastian. Syukurlah kalau tokoh agama yang menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota itu, bisa mempertahankan prisnip-prinsip kebenaran agama dalam menjalankan kepemimpinannya, tidak hanya sebagai boneka dari para politikus yang justru akan menjerumuskan. ? ungkap tokoh agama kharismatik yang selalu berpenampilan sederhana itu.

Berbicara peran ulama (Tuan Guru), antara lain ia memiliki peran yang disebut amr ma’ruf nahy munkar, yang rinciannya meliputi tugas untuk (1) menyebarkan dan mempertahankan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama, (2) melakukan kontrol dalam mayarakat (social control), (3) memecahkan problem yang terjadi dalam masyarakat, dan (4) menjadi agen perubahan sosial (agent of social change). Peran tersebut teraktualisasi sepanjang sejarah islam, meskipun bentuk dan dan kapasitasnya tidak selalu sama antara satu waktu dengan yang lainnya dan antara satu tempat dengan lainnya. Hal ini sangat tergantung pada struktur sosial dan politik serta problem yang dihadapi oleh masyarakat, dimana ulama itu berada. Melihat peran ini, maka peran ulama meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat dan bangsa, baik aspek sosial, budaya, politik maupun ekonomi.
Nanang Tahqiq dalam bukunya Politik Islam, mengatakan : “Peran ulama di masa mendatang tetap penting selama mayoritas mayarakat Indonesia masih tetap beragama Islam dan berpegang pada ajaran-ajarannya ; dan ulama sendiri mampu mengaktualisasikan doktrin Islam dalam konteks masa kini serta mampu mengaktualisasikan perannya dengan tetap concerned pada persoalan-persoalan nriil umat dan bangsa Indonesia”
Dari ilustrasi di atas, insya Allah kita dapat memetik sebuah kesimpulan bahwa, inti pokok permasalahan perihal kepemimpinan ini adalah sangat tergantung dari nilai pribadi masing-masing yang bersangkutan.
John C.Maxwell dalam bukunya Developing the Leader Within You, mengatakan, “Semua pemimpin besar telah memahami bahwa tanggung jawab nomor satu mereka adalah atas disiplin diri serta pertumbuhan pribadi mereka sendiri. Seandainya mereka tidak sanggup memimpin diri sendiri mereka tidak mungkin memimpin orang lain”.
Satu hal lagi yang perlu kita cermati dan ketahui bahwa nilai diri seseorang itu, bukan hanya berdasarkan atas penilaian dirinya sendiri, tapi juga atas dasar penilaian orang lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Henry Wadsworth Longfellow : Kita nilai diri sendiri dari apa yang kita rasa sanggup kita kerjakan, orang lain menilai kita dari apa yang telah kita kerjakan”.
Hasil perpaduan kedua nilai inilah yang kita jadikan pijakan untuk memilih dan menentukan pemimpin (Gubernur) Nusa Tenggara Barat di masa yang akan datang.
Atas dasar ungkapan dan analisis di atas, hampir setengah abad kelahiran Nusa Tenggara Barat dibawah kepemimpinan tujuh Gubernur, kiranya dapat kita jadikan bahan resume penilaian kita, untuk berfikir jernih tentang masyarakat Nusa Tenggara Barat dan tentang pemimpin Nusa Tenggara Barat di masa depan dengan didasari atas realita pengalaman kepemimpinan tujuh Gubernur tersebut.

Jual Beli Pemimpin.
Ditengah alam globalisasi modernitas saat ini, kita tidak bisa menafik dari kenyataan, bahwa perangai manusiapun maju dengan pesatnya, dalam arti bahwa tidak jarang kita melihat dan menemukan, alam demokrasi dinikmati dan dilaksanakan secara berlebihan. Sifat manusia yang tak pernah merasa puas merajalela, dan untuk memenuhi pemuasan kebutuhannya itu, berbagai ragam cara dilakukan, ilmu ekonomi telah merambah dunia politik dalam pengertian ilmu jual beli pun telah merasuk ke arena kepemimpinan.
Bila kita tetap membuka mata dan telinga dalam menyerap berbagai informasi problematika kemajuan diberbagai bidang kehidupan manusia, sekarang ini banyak orang yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu dan harga diri dengan melakukan berbagai cara dengan maksud dan tujuan hanya untuk memenuhi pemuasan keinginannya, hatta dengan menjual rakyat yang menurut ketentuan undang-undang, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara kesatuan Republik Indonesia ini (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Kata-kata dari rakyat dan oleh rakyat, ya dalam realita konsekwen dilaksanakan, tapi kata untuk rakyat ? Wallahu a’lam Bissawab……………………….
Banyak diantara kita, entah individu, kelompok, organisasi politik maupun organisasi kemayarakatan, dimana-mana selalu mengatakan “atas nama rakyat”
Rakyat yang mana ? Inilah yang kami makudkan dengan menjual rakyat.
Di alam reformasi yang katanya orang sudah kebablasan ini, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa bila akan terjadi Pemilu, Pilkada, Pilkades maupun pemilihan pemimpin di suatu organisasi, jual beli suara sudah dianggap hal biasa. Makanya dizaman sekarang ini, selama sistem pemilihan Kepala Daerah tetap mengharuskan seorang Calon Kepala Daerah harus mendapat dukungan dari Parpol, kalau mau menjadi Gubernur, Bupati/Walikota,jangan terdesak nafsu untuk mencalonkan diri kalau tidak punya uang. Banyak kita lihat dan buktikan mantan-mantan calon Kepala Daerah di NTB. ini jadi kere karena kalah dalam Pilkada. Untuk dapat menjadi Calon saja, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli dukungan dari parpol, belum lagi untuk sosialisasi tim sukses dan biaya operasional lainnya. Suatu saat pernah kami ngomong-ngomong dengan salah seorang teman yang ingin mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah. Ketika kami tanya, bagaimana khabarnya, jadi ndak mau maju jadi calon Kepala Daerah ? Beliau menjawab, tidak jadi karena parpol yang kami hubungi minta sekian Milyard katanya….. Masya Allah…..kalau hanya untuk mendapatkan dukungan harus mengeluarkan uang (membeli suara), belum lagi untuk keperluan lainnya, bagaimana kalau nanti calon tersebut terpilih, apakah dia tidak akan memperhitungkan out come yang telah dikeluarkan itu ? dan darimana pengembalian uang itu, kalau tidak dari jabatan dan kekusaan yang dia beli itu ? Inilah yang kami maksudkan dengan jual beli kepemimpinan.
Dari kurang lebih empat juta penduduk Nusa Tenggara Barat, mungkin tidak sampai sejumlah jari tangan, yang memiliki niat ikhlas karena Allah, untuk tidak memperhitungkan dana yang telah dikeluarkan itu, kecuali kalau ia betul-betul hartawan yang dermawan. Kalaupun ia hartawan dan dermawan, kenapa harus melalui jual beli kepemimpinan, kenapa …. dan kenapa…… serta seribu satu pertanyaan akan muncul.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menghindari adanya politik jual beli kepemimpinan itu, adalah dengan melakukan perubahan terhadap sitem pemilihan Kepala Daerah, yakni dengan mengadopsi item pemilihan Gubernur di Nangru Aceh Darussalam, yakni dengan membolehkan calon independen.
Makanya, kami sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh saudara Lalu Ranggalawe, yang ingin maju menjadi Calon Gubernur NTB tahun 2008, dengan malakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk me-yudicial revew Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagi kita mayarakat yang tidak ingin dipimpin oleh pemimpin hasil jual beli tersebut, kiranya upaya yang dilakukan oleh saudara Lalu Ranggalawe ini patut dan harus kita dukung sepenuhnya. Sebab upaya itu tidak saja dimaksudkan agar saudara Lalu Ranggalawe bisa lolos menjadi Calon Gubernur NTB, tahun 2008, tapi juga yang lebih penting dan bermakna adalah agar demokrasi di negara kita ini betul-betul terlaksana sesuai dengan arti dan makna hakiki yang terkandung ketika Demokrasi terlahirkan, walaupun memang jalan menuju alam demokrasi itu penuh tantangan. Jack Synder (2003) mengemukakan, jalan menuju demokrasi selalu mengandung berbagain kerawanan. Kita sadari bahwa segala apapun yang ada dan terjadi di dunia ini pasti ada untung ruginya. Demikian juga dengan Demokrai, walaupun kini Demokrasi telah menjadi mitos model sistem bernegara terbaik di dunia.
Paulus Mujiran (2004), mengemukakan, demokrasi tidak selalu menguntungkan semua kelompok elit politik. Demokrasi tiada ubahnya sekeping uang bermata dua, Bagi yang diuntungkan demokrai merupakan hal yang perlu dibela, didukung dan diperjuangkan, sementara bagi yang dirugikan, pro ststus quo, demokrai harus dilawan” ungkap Paulus. Kaitannya hal ini dengan upaya saudara Lalu Ranggalwe di atas, kalau upayanya itu berhasil, maka pihak yang diuntungkan adalah rakyat banyak dan pihak yang dirugikan adalah Parpol, dan sebaliknya kalau tidak berhasil, pihak parpol diuntungkan dan rakyat banyak dirugikan. Mudah-mudahan semua ini dapat menjadi bahan renungan dan pemikiran kita untuk kita sama-sama membangun demokrasi secara utuh dan konsekwen.

Satu hal lagi yang perlu kita renungkan bersama adalah bahwa kalau kita simak filosofi dan hakekat jual beli, maka barang atau jasa yang sudah diperjual belikan dengan resmi itu, tentunya tidak bisa digugat dan dituntut balik untuk dikembalikan. Misalnya, jika seorang pemimpin yang duduk dalam jabatan kepemimpinannya itu diperolehnya dengan cara jual beli (membeli suara dari rakyat), maka semestinya rakyat yang telah dibeli suaranya itu tidak berhak menggugat kepemimpinannya itu karena ia sudah membelinya, rakyat tidak berhak untuk demo menuntut pimpinan itu turun dari jabatannya, karena jabatan kepemimpiannya itu diperoleh dengan cara membeli. (Ini menurut teori jual beli). Lalu apakah hal ini yang kita inginkan ? Tentu tidak. Sekarang ini banyak orang, termasuk politikus dan pejabat yang dengan mudahnya mengucapkan dan mengeluarkan kata-kata pembenar atas ucapan dan tindakan yang dilakukan, walaupun kata dan ucapannya itu sebenarnya tidak benar.

Atas dasar analisis kajian di atas, kepada kita semua mayarakat Nusa Tenggara Barat yang mengharapkan dan menginginkan pemimpin (Gubernur NTB) yang benar-benar amanah, mari kita berfikir logis dan bertindak menurut aturan kebenaran yang hakiki, mempertimbangkan berbagai hal, dimasa lalu, masa kini dan masa mendatang, dalam menentukan pilihan kita. Jangan bisa terpengaruh oleh janji-janji kosong, bagai mimpi disiang bolong. Bila perlu mari kita berfikir yang mendalam, mengetuk hati kita masing-maing agar tersirat dan tersurat pernyataan dalam realita untuk tidak memilih pemimpin (calon Gubernur/Wakil Gubernur) yang menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama dan aturan hukum yang ada dan berlaku, termasuk dengan cara membeli suara rakyat.
Kepada para calon pemimpin NTB ( Calon Gubernur/Wakil Gubernur), kami berharap untuk tidak terobsesi mengejar jabatan Gubernur/Wakil Gubernur NTB. dengan melakukan berbagai cara yang tidak benar. Jangan gunakan jabatan dan kedudukan anda saat ini, untuk menarik simpati masyarakat, agar mayarakat memilih anda, karena sesungguhnya mayarakatpun telah banyak yang tau siapa anda sebenarnya. bertarunglah secara jantan dengan mengandalkan keperibadian yang anda miliki dan diakui sebagai sosok manusia yang memang pantas menjadi pemimpin.

Dan kepada pendukung calon, simpatian dan tim sukses, kamipun berharap untuk tidak menjerumuskan calon itu kelembah yang membawa duka nestapa bagi masyarakat banyak.. Semoga di dalam usia setengah abad nanti (17 Desember 2008) seluruh mayarakat Bumi Gora Nusa Tenggara Barat, benar-benar memiliki sosok pemimpin yang memang pantas dibanggakan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat….. Amien.


Mataram, 08 Maret 2008.

Penulis adalah Pemerhati masalah sosial
Kemasyarakatan, candidat Doktor pada
Progran Pacasarjana Untag Surabaya.

DZIKIR NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA

DZIKIR NASIONAL
DAN IMPLEMENTASINYA

Oleh
H. Musa Shofiandy
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan
Kandidat Doktor pada Program Pascasarjana Untag Surabaya

“Tatkala hatiku menanggung susah dan jalan-jalanku telah menyempit,
Kujadikan harapku tangga menuju kemaafaan-Mu,
Aku dihantui rasa takut karena dosaku yang begitu besar,
Namun ketika kupautkan dengan kemaafan-Mu, Wahai Rabb-ku
Kutemui maaf-Mu, ternyata lebih besar,
Engkau senantiasa memaafkan segala dosa,
Selama Engkau senantiasa melimpahkan kemurahan sebagai suatu
Pemberian dan melimpahkan kemaafan sebagai suatu anugrah………

Untaian kalimat di atas adalah merupakan bait-bait syair dari Ulama terkenal Imam Syafe’I yang terlahir dengan nama Muhammad bin Idris ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’ di Gazza tahun 150 H. Seorang Ulama Besar Islam yang sudah hafal Al Qur’anul Karim ketika baru berumur 9 (sembilan) tahun.
Syair tersebut di atas di ucapkan sambil menangis, saat-saat terakahir menjelang ajal menjemputnya pada bulan Rajab 204 H.

Apa yang dapat kita petik dan pelajari dari syair Ulama besar di atas ?
Inilah yang sedang terjadi dan di alami oleh Bangsa Indonesia saat ini. Bangsa Indonesia sedang berduka dan menanggung susah yang amat besar dan berat dalam masa berkepanjangan yang semua kita tidak tahu kapan akan berakhir.
Badai Tsunami di Aceh dan daerah-daerah lainnya, luapan Lumpur Lavindo di Siduarjo Jawa Timur yang terus memperluas areal genangannya dan menghalau penduduk sekitar dari ketenangan hidup yang selama ini dirasakannya, banjir, badai tanah longsor dan gempa bumi di beberapa daerah, hempasan angin Putting beliung, kemudian ikut pula merambah angin dan badai TC George dan TC Jacob, kecelakaan di bidang transportasi, terbakar dan tenggelamnya kapal laut, hilangnya pesawat udara Adam Air bak ditelan bumi, jatuh dan terbakarnya pesawat udara Garuda di Yogyakarta, kecelakaan Kereta Api, Bus dan berbagai bencana lainnya, belum lagi merebaknya berbagai kasus kriminal dan tindakan membunuh dan bunuh diri anggota masyarakat di beberapa daerah, dan berbagai macam bencana lainnya yang tidak sanggup kita hafal saking banyaknya.

Upaya demi upaya telah dan akan dilakukan ole pemerintah Indonesia, sampai-sampai minta bantuan Luar Negeri (walaupun dengan biaya besar) untuk mengatasi berbagai cobaab hidup Bangsa dan masyarakat Indonesia, namun sepertinya usaha tinggal usaha, ciri-ciri keberhasilan penanggulangannya belum juga nampak, malah sebaliknya, cobaan dan azab bencana itu kian memperihatinkan kita semua, bagai kata pepatah “ hilang satu tumbuh seribu”
Berbagai tanggapan dan reaksi negatif dari masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun masyarakat awam di pedesaan muncul seketika, tanpa kehati-hatian, yang ujung-ujungnya kebanyakan mengkritik dan menyalahkan pemerintah (dalam hal ini pemerintah SBY-MJK), namun ada pula pihak-pihak yang membela pemerintahan SBY-MJK dengan mengatakan : Apanya yang salah pada SBY-MJK terhadap terjadinya bala bencana itu, apakah SBY-MJK yang menciptakan bencana itu, apakah dengan berbagai realita bencana itu, SBY-MJK hanya diam saja, tidak perduli ? Coba kalau saudara sendiri yang jadi Presiden/Wakil Presiden, apa bisa dan mampu untuk mencegah agar tidak terjadi azab Tuhan itu ? dan berbagai debat politik dan debat kusir berkepanjangan yang tidak bermakna dan tidak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan.

Mendengar dan mencermati berbagai kritikan dan jerit kepedihan hati serta kesengsaraan rakyat dan masyarakat Indonesia itu, Presiden SBY dan Wapres MJK, tidak jadi panas kuping dan tidak pula tersenyum bahagia, namun dengan kesadaran hati dan kebesaran jiwa, pada hari Jumat tanggal 9 Maret 2007 lalu, beliau bersama beberapa Menteri Kabinetnya dan sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat dari berbagai kalangan, melakukan Dzikir Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta.
Dalam acara Dzikir Nasional itiu diisi dengan ritual do’a taubat dan meminta ampunan kepada Sang Khaliq atas dosa-dosa yang telah diperbuat Bangsa Indonesia termasuk dosa-dosa para pemimpin Bangsa dan Daerah serta kita masyarakat Indonesia.
Acara dzikir dan do’a itu didasari atas firman Allah SWT dalam QS.Al-Baqarah : 152 yang artinta : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberi rahmat dan pengampunan). Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”
Anjuran berdzikir termaktub pula dalam QS.Al-Ahzaab : 41 yang artinta : “Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah (dengan menyebut Nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”. Sedangkan tentang keutamaan Do’a, disebutkan dalam QS. Al-Mu’min : 60 yang artinya : “ Dan Rabb-mu berfirman “ Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdo’a) kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.
Kaitan dengan hal ini, Rasulullah Muhammad SAW. Bersabda : “Maukah kamu Aku tunjukkan perbuatanmu yang terbaik, paling suci disisi Raja-Mu (Allah), dan paling mengangkat derajatmu, lebih baik bagimu dari infak emas atau perak dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu, lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu? Para sahabat yang hadir berkata : “Mau (wahai Raulullah). Beliau bersabda : “ Dzikir kepada Allah Yang Mahatinggi” (HR.At-=Tirmidzi).
Berdasarkan firman Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW di ataslah maka Dzikir Nasional yang diisi dengan ritual do’a, taubat dan meminta ampunan kepada Sang Khaliq melalui pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, takbir, tahmid dan tasbih, memohon dan mengharap kehadhirat-Nya, agar bala bencana dan azab Tuhan itu dapat terakhiri di Bumi Persada Indonesia tercinta ini.

Akankah Do’a dan Dzikir Nasional yang dilaksanakan oleh Presiden SBY/Wapres MJK, para Kabinetnya serta berbagai tokoh dan anggota masyarakat Ibukota itu akan diterima dan dikabulkan Allah Yang Maha Kuasa ? Tidak ada satupun orang yang tahu, kecuali Sang Pencipta Alam beserta isinya, yakni Allah Subhaanahu Wata’aala yang Maha Segala-Nya.

Namun dari berbagai sumber pustaka Islam yang kita baca dan pelajari, kita temui bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar dzikir dan do’a yang kita panjatkan itu dapat terkabul (dikabulkan oleh Allah YMK) dan ada pula hal-hal yang merupakan Penghalang Terkabulnya Do’a.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2006) dengan nmengutip pendapat dari DR.Sa’id bin Wahf al-Qahthani, mengemukakan beberapa penghalang terkabulnya do’a seseorang, yaknin :

Makan dan minum dari yang haram, mengkonsumsi barang haram berupa makanan, minuman, pakaian dan hasil usaha yang haram. Ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 172. yang artinya :”Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu”. Dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang lain, disebutkan bahwa : Nabi Muhammad SAW menceritrakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata “: Ya … Rabb ….., Ya … Rabb “ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan do’anya ? ( HR. Muslim).

Minta cepat terkabul do’anya yang akhirnya meninggalkan do’a. Sabda Rasulullah SAW yang artinya : “ Dikabulkan do’a seseorang dari kalian selama ia tidak terburu-buru, ia berkata Aku sudah berdo’a, tetapi do’aku belum dikabulkan” (HR.Al-Bukhari). Juga dalam hadist Nabi yang diriwiyatkan oleh Abu Hurairah.r.a. yang artinta : “Do’a seseorang hamba akan senantiasa dikabulkan selama ia tidak berdo’a untuk berbuat dosa atau memutuskan silaturrahmi, selama ia tidak meminta dengan tergesa-gesa”.

Melakukan Maksiat dan apa yang diharamkan Allah.
Maksiat adalah salah satu penghalang terkabulnya do’a sebagaimana diseebutkan oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, dengan mengatakan : “Bagaimana mungkin kita mengharap terkabulnya do’a, sedangkan jalan kita sudah tertutup dengan dosa dan maksiat”.

Meninggalkan kewajiban yang telah Allah wajibkan, sebagaimana Sabda Nabi Muhammda SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi, yang berbunyi : Dari Hudzaefah, r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran atau (kalau kalian tidak lakukan, pasti) Allah akan menurunkan siksa kepada kalaian, hingga kalian berdo’a kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan”

Berdo’a yang isinya mengandung perbuatan dosa atau memutus silaturrahmi.

Tidak bersungguh-sungguh ketika berdo’a.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda : “ Apabila seseorang dari kamu berdo’a dan memohon kepada Allah, janganlah ia mengucapkan : Ya Allah ampunilah dosaku bjika Engkau Kehendaki, sayangilah aku jika Engkau kehendaki, dan berikan rizki jika Engkaua kehendaki. Akan tetapi, ia harus bersungguh-sungguh dalam berdo’a,sesungguhnya Allah berbuat menurut apa yang Ia kehendaki dan tidak ada yang memaksa-Nya.

Lalai dan dikuasai hawa napsu.
Rasulullah SAW, bersabda dalam satu hadistnya : “Berdo’alah kalian kepada Allah dengan yakin akan dikabulkan, nketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan lengah”.

Jika saja beberapa penghalang terkabulnya do’a di atas dikaitkan dengan kondii Bangsa Indonesia saat ini, sebagaimana dikatakan oleh Benny Susetyo dalam bukunya Hancurnya Etika Politik (2004) : “Tak bisa diingkari, korupsi sudah membudaya dikalangan bangsa ini seolah-olah telah menjadi kultur dalam masyarakat yang tak bisa diubah. Korupsi telah menyebar luas tidak hanya dikalangan masyarakat atas, tapi juga sampai tingkat bawah, dikalangan birokrat rendahan sampai yang berjabatan, dikalangan wakil rakyat sampai rakyat sendiri dan seterusnya. Yang terasa sangat ironis adalah korupsi telah mengakar di dalam hampir seluruh komponen masyarakat kita” Pada bagian lain, Benny juga mengatakan : “Rasa malu kita sebagai bangsa mungkin sudah habis. Kita tidak lagi malu memiliki bangsa berjulukan “paling korup di dunia”. Jika Orde Baru ditumbangkan kaum reformis karena dianggap menciptakan sistem pemerintahan yang korup, nyatanya setelah reformasi tahun 1998 hingga kini sistem pemerintahan yang ada masih bertahan pada pola lama. Pola lama itu adalah Pola Korup” ungkap Benny.
Ungkapan dan pernyataan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup di dunia, didaarkan atas hasil jajak pendapat Transparancy International Indonesia (TII), tahun 2004, dengan hasil bahwa dari 133 negara yang disurvey, Indonesia menempati urutan ke 6 (enam) negara paling korup di dunia, dan Political and Economy Risk Conultancy (PERC) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia.
Yang lebih mengerikan dan mengenaskan lagi adalah jika saja buku “Republik Para Maling” yang ditulis oleh Paulus Mujiran terbaca luas dan isinya dibenarkan oleh masyarakat luas, maka betapa sedihnya kita memiliki negara berpredikat Republik Para Maling, lebih-lebih kita ummat Islam yang mendiami Republik ini, julukan dan predikat itu sungguh menyakitkan, karena mayoritas Islam mendiami Republik ini.
Akankah kita terus terpaku dan berdiam diri melihat kenyataan yang ada dan terjadi di Republik kita tercinta ini, dimana para pejabat negara mulai dari tingkat pusat sampai daerah-daerah tetap menunjukkan ketidak berhasilannya memberantas berbagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan di berbagai segi kehidupan manusia itu, apakah dalam bentuk KKN atau apapun namanya.
Dalam alam realita, adalah terasa sulit dan amat sulit kita dapatkan para pemimpin pemerintahan di negeri ini yang memiliki komitmen moral yang kuat dan mendalam untuk memberantas berbagai bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi selama ini, padahal dari mulut para pemimpin kita selalu keluar kata-kata, “ mari kita berantas Korupsi, Kolusi dan Nepotis dan bahkan pernyataan yang lebih keras untuk memberantas KKN itupun seringkali kita dengar dari para pejabat dan pemimpin kita. Tapi dalam realitanya ? Kita semua tahu. “ Bangsa ini semakin tak bermoral” itulah kalimat pertama yang tertulis dalam bukunya Benny Susetyo : Hancurnya Etika Politk (2004).
Realita keadaan dan kondisi Republik kita sebagaimana diungkap di atas, tidak hanya kita dapatkan dari berbagai lisensi buku, majalah, surat kabar dan masmedia lainnya, tapi juga kita dapat lihat dan saksikan dengan mata kepala kita, betapa para pemimpin kita terkontaminasi dengan lingkaran setan yang tak bermoral, belum ada kemauan tulus dan ikhlas untuk menjadikan korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai tindak penyimpangan lainnya sebagai musuh bersama ( common enemy) bangsa, tidak juga beranjak menjadi kamauan politik (political will) yang serius.
Disinilah sebenarnya peran agama menjadi penting dalam upayanya untuk menafsirkan teks yang mampu merespon persoalan mengenai money politics, korupsi, penyalahgunaan wewenang dan seterusnya. Kategori perbuatan itu seharusnya dimaksudkan dalam kategori dosa berat, sebab orang yang melakukan money politics, korupsi, menyalahgunakan kekuasaan sebenarnya secara jelas telah melukai hati rakyat. Kesadaran akan hal inilah, rupanya yang mendorong presiden SBY bmelakukan Dziikir Nasional, yang kemudian oleh Menteri Agama RI mengajak seluruh komponen masyarakat Indonesia di masing-masing daerah untuk melakukan Dzikir bersama 3 (tiga) kali sebulan. Namun yang masih menjadi pertanyaan kita, apakah penyelenggaraan rutinitas Dzikir Nasional itu akan dapat mengurangi dan atau menghentikan segala macam bencana yang sedang dialami bangsa Indonesia, manakala tidak dibarengi niat tulus dan ikhlas untuk bertekad bulat dan konsekwen memberantas berbagai bentuk penyelewengan dan penyimpangan yang telah dan akan terjadi ? dan lebih penting lagi tanpa ada niat dan maksud untuk menghalangi penyelenggaraan acara ritual Dzikiir dan Do,a bersama itu, karena sesungguhnya dengan Dzikir dan Berdo’a menandakan bahwa kita bertobat kepada Allah Yang Maha Esa. (dalam QS.Al-Hujarat :11. disebutkan :”Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orangt-orang yang zalim”), apakah Dzikir dan Do,a itu akan dapat dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, manakala kita tidak barengi dengan upaya-upaya memenuhi syarat, bagaimana agar Dzikir dan Do’a yang kita panjatkan itu dapat terkabulkan, seperti halnya menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menjadi penghalang terkabulnya Do’a ? Wallahu ‘a’lam bissawab… hanya Tuhan Yang Maha Segala-Nya yang tahu…….
Untuk menjawab pertanyaan itu, dan karena dalil-dalil yang mengungkapkan bahwa untuk dapat terkabulnya do’a itu berasal dari Kitab Suci Al Qur’anulkarim dan Sunnah Rasul Muhammad SAW. Maka bagi kita ummat Muslim, adalah wajib untuk yakin dan percaya terhadap kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Karena itu, melalui kesempatan ini kami mengajak kita sekalian dan semua komponen Bangsa dan rakyat Indonesia untuk mendesak Pemerintah, mulai dari tingkat Pusat sampai tingkat daerah agar konsekwen dan konsisten melakukan upaya-upaya pemberantasan segala macam bentuk kemaksiatan yang telah merajalela di bumi persada kita tercinta ini, seraya kita menyadari dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul Allah yakni melaksanakan upaya-upaya yang memenuhi persyaratan, bagaimana agar Dzikir dana Do’a kita dikabulkan serta membuang jauh hal-hal yang merupakan penghalang terkabulnya Do’a kita. Bila hal ini tidak kita lakukan, kita tetap pesimis Dzikir dan Do’a Nasional itu akan dapat dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Karenanya, mari kita menyatu dalam satu komitmen bersama yang tulus dan ikhlas untuk turut serta beriktikad bulat mendukung program Dzikir dan Do’a Nasional tersebut dengan dibarengi dengan memperkuat Iman dan Taqwa kita kepada Yang Maha Kuasa, salah satunya adalah dengan berupaya melakukan kegiatan ritual memenuhi tuntutan syarat agar do’a terkabul serta menghindari jauh tindakan dan perbuatan yang dapat menghalangi terkabulnya do’a kita.
Kepada para pemimpinj Bangsa ini, mulai dari pemimpinb formal ditingkat pusat, Privinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan sampai tingkat RT serta para pemimpin informal yang ada dalam kehidupan masyarakat, mari kita renungkan dan jalankan dengan kesungguhan hati petuah dan nasehat Nabi besar kita Muhammad SAW yang menyatakan : “Tiada seorang hamba yang diangkat oleh Allah menjadi pengawas suatu persoalan yang bersangkutan dengan kepentingan rakyat, lalu ia menghianatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya sorga”
Dalam hadist lain disebutkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda : “Celakalah bagi penguasa. Celaka pula bagi kepala suku yang menjadi pemimpin bangsa dan golongan. Celaka pula bagi pengemban amanah, juga para pemimpin organisasi masyarakat. Dan kelak pada hari kiamat ada orang yang ujung rambutnya digantung di atas bintang, dimana ia meronta-ronta diantara langit dan bumi, sedang bia tidak berhasil atas usaha melepaskan dirinya dari siksa” .
Selain hadist Nabi tersebut, mari kita renungkan dan jalankan pula dengan kebesaran jiwa dan ketenangan hati yang mendalam nasehat dan wasiat Khalifah Umar Bin Khattab .r.a. yang mengatakan :
“Aku wasiatkan kepadamu agar berlaku adil kepada rakyat. Curahkanlah pikiran, tenaga dan waktumu untuk memenuhi kebutuhan mereka serta janganlah lebih mengutamakan si kaya daripada si fakir. Semua itu adalah pemberi ketentraman bagti hatimu dan penghapus dosamu. Kebaikan akan menjadi balasan perbuatanmu itu.
Aku perintahkan engkau untuk bertindak tegas dalam masalah yang menyangkut perintah, batasan-batasan dan larangan-larangan Allah, baik kepada orang dekat maupun orang yang jauh denganmu. Jangan engkau kasihani seorangpun yang menyalahi perintah Allah, karena jika itu terjadi maka engkau telah melanggar kehormatan Allah, sama sepertinya. Bersikaplah sama rata kepada semua orang dan jangan sampai celaan orang yang mencela memalingkan engkau dari jalan Allah.
Jangan sekali-kali engkau menunjukkan rasa suka dan bersikap lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada orang lain pada harta rampasan yang diamanahkan Allah kepadamu untuk orang-orang mukmin. Hal itu akan membuatmu bertindak aniaya dan zalim dan dengan begitu engkau telah mengharamkan dirimu sendiri dari apa yang telah Allah halalkan untukmu”.

Sebagai hamba Allah yang beriman, kita wajib yakin dan percaya bahwa segala macam azab itu bukan hanya semata sekedar azab tanpa sebab, akan tetapi adalah merupakan akibat dari ulah kita, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-‘nkabut : 40. yang artinya :
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka endiri”

Mari kita sama-sama merenung dan mengaktualisasikan dalam alam nyata ungkapan yang disampaikan oleh KH.Mustafa Bisri, pengasuh pondok pesantren di Rembang Jawa Tengah yang memimpin acara ritual “Dzikir Nasional” di Masjid Istiqlal Jakarta tanggal 09 Maret 2007 lalu, yang mengajak semua jamaah dan semua kita untuk melepaskan jabatan dan kedudukan untuk berserah diri kepada Allah, Lupakan kedudukan kita, mari kita ucapkan ikrar Salawat Penyerahan kepada Allah”

Mataram, 13 Maret 2007

Semoga kita semua, selalu hidup dalam kesadaran ………….. Amien ………