Sabtu, 27 Desember 2008

ANGGOTA DPRD AJAK MASYARAKAT GOLPUT, SEBAIKNYA MUNDUR SAJA

ANGGOTA DPRD AJAK MASYARAKAT GOLPUT
SEBAIKNYA MUNDUR SAJA
Oleh : Dr.H.Musa Shofiandy.MM.

Semula, tidak pernah terfikir dalam benak saya untuk mengomentari seputar issue akan munculnya Golput dalam Pilkada NTB Tahun 2008 ini. Namun setelah mendengar dan membaca beberapa berita dari berbagai masmedia yang ada terutama yang ada di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini, perihal adanya beberapa oknum anggota DPRD di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Dompu yang ikut memprovokasi agar masyarakat di ketiga Kabupaten/Kota itu tidak ikut menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada NTB 2008 serta adanya Gerakan dari Asosiasi Kepala Desa yang ada di tiga Kabupaten/Kota yang juga mengancam untuk tidak akan mendirikan TPS di masing-masing Desanya, karena tidak terakomodirnya Cagub/Cawagub yang berasal dari ketiga Kabupaten/Kota tersebut, saya jadi merasa terpanggil untuk ikut memberikan komentar atas hal tersebut. Dan yang bikin saya tidak habis fikir adalah karena adanya pernyataan yang berupa provokasi dari anggota Dewan yang terhormat untuk mengajak masyarakat Golput. Kalau saja suara dan ungkapan itu tidak keluar dari seorang anggota Dewan yang terhormat, misalnya dari oknum masyarakat, dari anggota LSM atau organisasi lain yang tidak memiliki hak dan kewenangan untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, tidak ada masalah, adalah wajar mereka bersuara seperti itu, tapi kalau hal itu dilakukan oleh anggota Dewan yang terhormat, adalah merupakan kekeliruan dan kesalahan besar. Sadarkah para anggota Dewan yang terhormat tersebut akan pernyataan dan tindakan yang dilakukan itu ? Bukankah para anggota Dewan yang terhormat itu adalah para wakil rakyat yang seharusnya tidak akan melakukan hal seperti itu ? Dan sadarkah anggota Dewan yang terhormat itu bahwa mereka duduk menjadi anggota Dewan yang terhormat adalah merupakan penjelmaan dan utusan dari Partai Politik yang memiliki hak dan kewenangan untuk menentukan dan menetapkan Calon Kepala Daerah (Cagub/Cawagub), Dus dengan demikian kenapa anggota Dewan yang terhormat itu tidak berfikir logis bahwa tidak terakomodirnya Cagub/Cawagub dari ketiga Kabupaten/Kota itu adalah merupakan kesalahannya sendiri yang kemudian akan dilimpahkan pada pihak lain ? Apakah dengan tindakan ini tidak merupakan alat mereka untuk menyembunyikan ketidak mampuan mereka membawa dan menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya ? Waaaaahh... tidak bisa lagi saya ungkap berbagai pertanyaan yang menyelimuti hati dan fikiran saya dalam menyikapi masalah ini. Dan sepengetahuan saya, baru kali ini terjadi di Indonesia, ada anggota Dewan yang terhormat memprovokasi masyarakat agar Golput. Ada apa denganmu?
Coba mari kita ulas permasalahan tersebut.

Proses dan Prosedur Penentuan Cagub/Cawagub.
Adalah sangat tidak masuk dalam pemikiran akal sehat, jika anggota Dewan yang terhormat yang memprovokasi masyarakat agar tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) dalam Pilkada, karena dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita ini, pasangan Calon Kepala Daerah/wakil kepala daerah diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik, dan para anggota Dewan yang terhormat adalah merupakan utusan dan atau pengurus dari Partai Politik.
Dalam pasal 59 ayat (1) UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Demikian pula halnya ketentuan yang termuat dalam PP RI Nomor 6 Tahun 2005, tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala Daerah. Pasal 36 ayat (1) berbunyi :”Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik secara berpasangan”
Dari kedua aturan yang mendasari proses pencalonan, mulai dari penjaringan calon sampai dengan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sepenuhnya adalah merupakan hak dan kewenangan dari partai politik dan atau gabungan partai pilitik yang ada. Dengan demikian, maka jelas dan sangat jelas bahwa anggota Dewan yang terhormat yang merupakan penjelmaan dari partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD itulah yang juga memiliki hak dan kewenangan untuk mengajukan dan menetapkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Yang menjadi persoalan besar dan tanda tanya kita sekarang adalah, kenapa justru anggota Dewan yang terhormat, yang telah memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah itu yang justru mengeluarkan suara dan memprovokasi masyarakat agar Golput (tidak memilih), karena tidak adanya keterwakilan dari Bima/Dompu dalam pasangan Cagub/Cawagub NTB? Kenapa tidak ketika proses pencalonan (sebelum penetapan calon) itu mereka ngomong, tidak memperjuangkan di partainya agar ada keterwakilan Bima/Dompu, kenapa diam dan setuju saja atas keputusan partainya yang tidak mengakomodir Bima/Dompu, apakah ini karena takut meninggalkan kursi empuk di Dewan ?
Tidak ada dalam benak siapapun di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini yang meragukan kemampuan dan kualitas saudara-saudara saya di tiga Kabupaten/Kota itu. Buktinya kan banyak, entah telah jadi Gubernur bahkan Menteri pun berasal dari saudara-saudara saya di tiga Kabupauen/Kota ini. Jadi tidak ada yang meragukannya, entahlah kalau saudara anggota Dewan yang terhormat sendiri yang meragukannya sehingga tidak mengajukan dan memperjuangkannya agar bisa terpilih dan ditetapkan menjadi Cagub/Cawagub.
Kami masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara barat, khususnya masyarakat Lombok, Sumbawa, Hindu Bali dan etnis lainnya, berharap dan sangat berharap kepada anggota Dewan yang terhormat yang telah mengeluarkan kata dan ucapan yang menjurus kepada provokasi agar masyarakat tidak memilih (Golput), untuk tidak membuat gusar masyarakat, karena akibat dari ucapan dan tindakan itu amat besar.

Seharusnya Anggota DPRD Mundur.
Dengan melihat proses dan prosedur penentuan Cagub/Cawagub tersebut di atas, maka para anggota DPRD yang terhormat yang sekaligus juga merupakan pengurus Partai Politik yang ikut menentukan Cagub/Cawagub, tidak seharusnya akan memprovokasi masyarakat untuk Golput karena yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penentuan dan pengajuan Cagub/Cawagub adalah mereka sendiri. Mestinya dari sejak awal, kalau memang benar, sekali lagi kalau memang benar aspirasi masyarakat di tiga Kabupaten/Kota itu menghendaki adanya Cagub/Cawagub yang mewakili ke tiga daerah itu, maka dari sejak awal para anggota yang terhormat itu memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Upaya yang harus dilakukan antara lain adalah dengan mempersatukan diri ( anggota Dewan yang terhormat yang berasal dari tiga Kabupaten/Kota) mengupayakan secara maksimal dengan berbagai cara agar DPD Partai Politik yang berasal dari ke tiga Kabupaten/Kota itu memperjuangkan agar ada Cagub/Cawagub yang berasal dari etnis Bima/Dompu. Tapi kenapa, ketika proses penjaringan dan dalam penentuan Cagub/Cawagub oleh Parpol mereka hanya diam saja, dan hanya setuju saja, tidak melakukan aksi, misalnya dengan tidak mau menanda tangani kesepakatan Cagub/Cawagub yang di usung Partainya atau para anggota Dewan yang terhormat itu mengambil sikap mundur saja dari Partai Politik yang mengantarkan mereka menjadi anggota Dewan yang terhormat, karena aspirasi dan keingingan masyarakatnya tidak bisa tersalurkan. (Harus jantan dong, tidak menyembunyikan kegagalan anggota Dewan yang terhormat untuk mengusung Cagub/Cawagub, dengan melempar bola api panas ke masyarakat yang bisa berakibat merugikan seluruh masyarakat Nusa Tenggara Barat). Dimana letak tanggung jawab anggota Dewan yang terhormat terhadap masyarakatnya ? Kalau keinginan untuk Golput itu, tidak murni aspirasi masyarakatnya, kenapa mereka (anggota Dewan yang terhormat) bersuara lantang sebagaimana yang diberitakan media masa akhir-akhir ini, yang ujung-ujungnya memprovokasi masyarakat Bima/Dompu agar Golput (tidak memilih). Dimana pemikiran dan hati nurani anggota Dewan yang terhormat ? Apakah rasa nasionalisme dan kebangsaan kita sudah sedemikian rapuh dan luntur ? Kiranya perlu lagi lebih banyak kita belajar dan membaca buku yang berkaitan dengan demokrasi, ketatanegaraan, pemerintahan, kemasyarakatan, hukum, sosial politik dan berbagai literaur lainnya hingga kita tidak menjadi penyelenggara negara yang sok tau, sok pintar, dan asal bunyi, tanpa menganalisa akibat yang akan timbul dengan kata dan kalimat yang kita ucapkan. Tahukah anggota Dewan yang terhormat akibat yang akan terjadi, jika saja masyarakat Bima/Dompu betul-betul Golput ? Untuk anggota Dewan yang terhormat tahu, kalau saja Pilkada NTB 2008 dilakukan, kemudian sebagai akibat pernyataan anggota Dewan yang terhormat, seluruh masyarakat Bima/Dompu akan Golput, yang pada akhirnya akan mengakibatkan Pilkada NTB 2008 menjadi batal karena banyaknya masyarakat yang tidak memilih, maka yang rugi adalah seluruh masyarakat Nusa Tenggara Barat, karena puluhan milyar uang yang dikeluarkan untuk membiayai Pilkada NTB 2008 itu adalah uangnya rakyat, bukan uangnnya anggota Dewan yang terhormat. Dengan gagalnya Pilkada NTB 2008, maka sudah pasti dan wajib hukumnya untuk melakukan Pilkada ulang yang sudah pasti juga akan membutuhkan dana puluhan milyard rupiah. Mari kita merenung sambil berfikir logis dan obyektif.
Kecewa jangan dipolitisasi.
Berbicara masalah kecewa (kekecewaan) tidak saja saudara-saudara saya di tiga Kabupaten/Kota itu yang kecewa, kami juga masyarakat yang ada di Lombok juga melebihi kekecewaan saudara-saudaraku, seperti saudara-saudara kami yang ada di Lombok Tengah, Lombok Barat, Kota Mataram, dan lebih-lebih lagi kekecewaan dari organisasi kami Yayasan AMPHIBI yang memiliki anggota riel lebih dari 400 ribuan orang, sebagaimana dikatakan oleh Ketua Posko AMPHIBI Lombok Tengah H.Lalu Kelan S.Pd. Sebagai organisasi yang cukup besar dan telah terbukti perannya, terutama dalam membantu aparat keamanan dalam tugasnya mengamankan masyarakat Nusa Tenggara Barat, tidak pernah mendapatkan perhatian dari Pemerintah, apalagi dari Partai Politik serta para Bacagub/Bacawagub. Kami di Pamswakarsa AMPHIBI, termasuk juga dari Pamswakarsa yang lainnya seperti, Elang Merah, Buru Jejak, Dharma Wisesa, Sapujagad dan beberapa Pamswakarsa lainnya. Tapi kekecewaan kami-kami itu tidak pernah kami ungkap secara pulgar, apalagi sampai mengajak masyarakat untuk tidak memilih (Golput), walaupun kami-kami di Pamswakarsa memiliki anggota riel yang berasal dari berbagai etnis yang ada di Nusa Tenggara Barat ini. Padahal kalau saja Partai Politik atau Bacagub/Bacawagub berfikir jernih, maka mereka tidak akan menyepelekan keberadaan kami Pamswakarsa, dan kalau mereka bisa berkoordinasi dengan kami (Pamswakarsa), Insya Allah akan menang dalam Pilkada NTB 2008.
Mestinya, kalau saja pemikiran kita sama, alangkah indah, serasi dan edialnya kepemimpinan di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat ini setelah Pilkada NTB 2008 mendatang, karena Gubernurnya dari Etnis Sasak, Wakil Gubernur dari etnis Sumbawa dan Sekretaris Daerah yang merupakan orang pertama di Birokrasi Pemerintahan berasal dari etnis Bima/Dompu. Tahukah atau sadarkah anggota Dewan yang terhormat, kedudukan, tugas dan fungsi seorang Sekretaris Daerah ? Kalau sudah tahu mohon direnungkan kembali secara jernih dan mendalam, tapi kalau belum tahu, jangan enggan dan segan serta malu untuk mempelajari dan memahaminya.
Jadi, kekecewaan yang ada dalam fikiran pribadi, keluarga atau kelompok, jangan di generalisasikan menjadi kekecewaan seluruh masyarakat Bima/Dompu. Kekeliruan dan kesalahan yang telah dilakukan dengan tidak memperjuangkan secara maksimal keterwakilan masyarakat Bima/Dompu untuk menjadi Cagub/Cawagub, jangan lalu diselimuti bola api yang dapat membakar dan menghancurkan rasa persaudaraan dan kebersamaan kita segenap masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara Barat.

Mengakomodir Kekecewaan
Revisi UU RI Nomor 32 Tahun 2004 yang telah disyahkan oleh DPR pada tanggal 1 April 2008, adalah merupakan satu-satunya jalan untuk mengakomodir kekecewaan masyarakat atas kesewenangan partai politik atau gabungan partai pilitik dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, walaupun revisi UU RI tersebut belum ditanda tangan Presiden dan belum di bukukan dalam Lembaran Negara RI. Tetapi kita yakin bahwa Insya Allah mulai tanggal 1 Mei 2008 revisi UURI tersebut akan mulai diberlakukan, karena jeda waktu satu bulan (30 hari) sejak pengesahan DPR, ditanda tangani atau tidak oleh Presiden, revisi UURI tersebut dianggap syah untuk diberlakukan. Dengan pemberlakuan revisi UURI tersebut, maka keikutsertaan calon Independen dalam Pilkada Kepala Daerah dapat terakomodir, dan ini adalah merupakan jalan terbaik mengakomodir aspirasi masyarakat yang kurang sreg dengan ulah polah partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat dalam pengajuan dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
Mestinya, upaya yang harus dilakukan oleh anggota Dewan yang terhormat adalah, bagaimana agar hasil revisi UURI Nomor 32 Tahun 2004 itu sesegera mungkin ditanda tangani oleh Presiden, sehingga kita tidak harus menunggu 30 hari. Ambil contoh seperti DPRD Jawa Timur yang akan melakukan Pilkada tanggal 23 Juli 2008, mereka para anggota Dewan yang terhormat di Jawa Timur, pro aktif untuk mempersiapkan kemungkinan pemberlakuan revisi UURI Nomor 32 Tahun 2004. Demikian pula daerah-daerah lain yang akan melaksanakan pesta demokrasi Pilkada tahun 2008 ini seperti, Provinsi Bali yang akan melaksanakan Pilkada tanggal 9 Juli 2008, Kota Bandung Jawa Barat ( 10 Agustus 2008), Jambi (20 Agustus 2008), Lampung, Sumatera Selatan dan beberapa daerah lainnya, semuanya menuntut agar calon independen dapat diikutsertakan dalam Pilkada dan daerah-daerah tersebut semuanya minta agar Pilkada di daerahnya di undurkan, hingga terakomodirnya calon independen. Bukankah upaya dan cara itu lebih baik dan lebih bermartabat daripada memprovokasi masyarakat agar Golput ?
Yang pasti dari semua itu untuk sementara ini adalah adanya kejelasan dan ketegasan dari Pemerintah terhadap pemberlakuan revisi UURI Nomor 32 tahun 2004 yang telah disyahkan DPR pada tanggal 1 April 2008 lalu. Kalau saja tidak ada kejelasan dan ketegasan sikap Pemerintah, maka tidak akan dapat terhindarkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam Pilkada tahun 2008 ini, karena masing-masing pihak yakni Gerakan Nasional Calon Independen dan KPU sebagai penyelenggara Pilkada, masing-masing mempertahankan argumentasi pembenar atas apa yang dilakukan, akhirnya rakyat banyaklah yang menjadi korban demokrasi. Akankah perseteruan ini berlanjut atau berhenti dengan adanya salah satu pihak yang mengalah ? Wallahu A’lam Bissawab.

Mataram, 05 April 2008.
Penulis adalah
Pemerhati masalah Sosial Kemasyarakatan dan
Ketua Badan Pengawas DPP Yayasan AMPHIBI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar